Papua Barat, b-Oneindonesia – Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma angkat bicara menyikapi aspirasi masyarakat adat di daerah Bintuni terhadap keberadaan BP Tangguh yang belum memberikan dampak signifikan bagi masyarakat setempat. Menurutnya, persoalan minimnya perhatian pada masyarakat adat di Bintuni ini merupakan permasalahan sistemik dari hulu ke hilir.
“Saya harus katakan bahwa selama 14 tahun BP Tangguh di Bintuni, dan kalau sampai sekarang kehidupan masyarakat adat di Bintuni masih terbengkalai, maka persoalannya sudah sistemik, dari Pemerintah sampai BP Tangguh itu sendiri,” kata Filep saat ditemui awak media, Rabu (14/6/2023).
“Saya cek fakta data BPS, nyatanya persentase penduduk miskin di Bintuni pada 2021 sebesar 29,79 persen, naik 7 persen dari tahun 2020. Pada tahun 2022, hanya turun sedikit sebesar 0,6 persen. Ini mencakup kehidupan masyarakat adat di Bintuni. Data sederhana ini saja sudah menunjukkan bahwa masyarakat tidak diperkaya oleh kehadiran BP Tangguh,” sambungnya.
Melihat kondisi ini, Filep menekankan amanat konstitusi Pasal 18 B UUD 1945 yang menyatakan dengan tegas bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Konsep mengakui dan menghormati itu sama dengan memberikan perlindungan, mengayomi, mengafirmasi. Jadi kalau ada tambang di wilayah masyarakat adat, yang tambang itu memproduksi gas bumi rata-rata lapangan tahun 2021 sebesar 1.312 MMSCFD (million standard cubic feet per day), dan status per 14 Juni 2022 sebesar 1.162 MMSCFD, dengan setiap tahunnya menghasilkan 7,6 juta ton LNG melalui Train 1 dan 2, dan sekarang Tangguh train 3 bernilai investasi US$11 miliar (Rp159 triliun), tetapi masyarakat adat tetap miskin, maka Pemerintah telah melanggar konstitusi. Pemerintah dalam hal ini Kementrian ESDM dan SKK Migas harus bertanggungjawab penuh atas permasalahan ini,” tegas Filep.
Filep yang akrab disapa Pace Jas Merah itu lantas menyatakan bahwa pelanggaran atas amanat Konstitusi ini menyebabkan BP Tangguh juga tidak memperhatikan Tanggung Jawab Sosial (TJS) terhadap masyarakat adat terdampak.
“Jika Pemerintah dan BP Tangguh mengklaim memperhatikan pendidikan masyarakat adat di Bintuni, mengapa data BPS 2023 menyebutkan bahwa tidak ada satupun SMA hingga tahun 2022 di Aroba, Kuri, Wamesa, Manimeri, Tuhiba, Dataran Beirnes, Aranday, Weriagar, Moskona Selatan, Biscoop, Masyeta, Moskona Barat, dan Moskona Timur? Lalu kemana semua dana CSR yang diklaim itu?” tanya Filep lagi.
“Dalam kajian akademik tentang pembangunan, cara pandang Pemerintah pusat dalam hal ini SKK Migas dan juga cara pandang BP Tangguh terhadap masyarakat adat dan relasinya dengan tanah, hutan dan sumber daya alam lainnya, seolah disederhanakan begitu saja, nampak adanya state simplifications dalam menetapkan regulasi. Ini yang dikhawatirkan akan banyak merugikan masyarakat adat yang sudah seharusnya diperhatikan,” tambah Filep.
Lebih lanjut, pimpinan Komite I DPD RI ini mengatakan, dalam logika UU Cipta Kerja juga ditegaskan bahwa hak masyarakat adat, hutan adat, dan tanah adat atau ulayat diakui oleh negara sejauh masyarakat hukum adat tersebut pengakuannya telah ditetapkan oleh Peraturan Daerah.
“Saat ini, juga sudah ada Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Karena sejauh ditetapkan oleh Perda, maka Pemerintah Provinsi Papua Barat telah menerbitkan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat yang merupakan turunan dari Undang-Undang Otonomi Khusus Papua,” ujarnya.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Papua Barat juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Papua Barat Nomor 25 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat. Di atas semua itu, lanjut Filep, UU Otonomi Khusus telah menekankan dengan sangat tegas tentang bagaimana masyarakat adat di Papua Barat dilindungi, melalui DBH Migas, DBH Hasil Hutan, dan DBH SDA lainnya, yang diperuntukkan bagi pemberdayaan masyarakat adat.
“Jadi, pemerintah dan BP Tangguh sudah punya simplifikasi pandangan terhadap masyarakat adat, kemudian buat aturan, dan aturan itu dilanggar sendiri. Ini yang disayangkan, karena secara tidak langsung negara bersama investor melakukan kejahatan sistemik terhadap masyarakat adat. Bukti lainnya, sekarang saya tanya, kenapa dana CSR dimasukkan sebagai bagian dari cost recovery? Ini kan sama saja negara ambil bebannya BP Tangguh, yang jelas-jelas melanggar UU PT dan PP Nomor 47 Tahun 2021 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas,” kata Filep menjelaskan dengan gamblang.
Tidak hanya situ, mantan anggota Pansus Papua ini kecewa dengan kondisi kesehatan masyarakat di Kabupaten Teluk Bintuni. Dirinya mempertanyakan minimnya fasilitas kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat.
“Kalau ada klaim terkait bantuan kesehatan masyarakat, mengapa data BPS 2023 menunjukkan sampai 2021 hanya ada 1 Rumah Sakit (RS) di Bintuni, tidak ada RS Bersalin, hanya ada 2 (dua) poliklinik di Babo dan Bintuni, tidak ada Puskesmas di Dataran Beirnes, Kamundan, Weriagar, Moskona Barat, Moskona Timur, Menday, dan Biscoop. Sementara apotek hanya berjumlah 8 dan hanya terdapat di Bintuni dan Manimeri. Maka jelas sampai 2022 masih ada bayi dengan gizi buruk di Bintuni. Itu semua data BPS. Silakan dibantah jika sudah mengklaim membantu kesehatan masyarakat,” ujarnya.
“Belum lagi jika kita pertanyakan berapa jumlah tenaga kerja OAP yang dipekerjakan di BP Tangguh. Bukan hanya dipekerjakan, tetapi berapa banyak juga yang menduduki level manajerial. Yang dikhawatirkan, jumlah terbesar pekerja OAP ada di wilayah unskilled labour. Kapan OAP bisa jadi tuan di negerinya sendiri?” kata Fiep.
Dirinya berharap hubungan yang mesra antara SKK Migas dan BP Tangguh mampu membuat masyarakat adat di Bintuni menjadi sejahtera, terlebih sudah 14 tahun BP Tangguh beroperasi di Bintuni.
“Jadi jika masyarakat adat masih hidup begitu-begitu saja, maka patut diperiksa lebih jauh, patut diaudit semuanya. Apakah KPK juga harus turun? Oh tentu saja, karena ada uang negara yang dipakai di sana. Pertanyaannya, berani atau tidak? Saya berani karena saya mencintai konstituen saya, mencintai masyarakat adat yang mendukung saya, membawa aspirasinya kepada saya untuk saya suarakan ke parlemen,” tutupnya.