Jakarta, b-Oneindonesia – Proses pembahasan tingkat pertama Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) telah usai dengan seluruh prosesnya yang dinamis. Pansus/Panja/Tim Perumus/Tim Sinkronisasi pun telah memberikan upaya terbaik yang bisa dilakukan secara demokratis.
Terhadap draf Rancangan Undang-Undang tentang Ibu Kota ini, DPD RI menyampaikan beberapa catatan antara lain sebagai berikut:
DPD RI menghargai usul inisiatif Pemerintah yang mengambil frasa Nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara. Namun DPD RI menilai belum ada penjelasan yang lebih komprehensif terkait landasan sosiologis, filosofis dan historis yang menjadi dasar pemilihan frasa nusantara sebagai nama Ibu Kota Negara.
DPD RI sepakat dengan bentuk Pemerintahan Daerah Khusus, namun terkait dengan Istilah dan pengaturan Otorita, DPD RI belum dapat memahami dan mengingatkan bahwa Otorita bukan merupakan bagian dari jenis pemerintahan yang ada di dalam UUD 1945. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 mengatur kepala pemerintah daerah terdiri atas Gubernur untuk pemerintah provinsi, Bupati/Walikota untuk pemerintah kabupaten/kota. Oleh karena itu DPD menilai bahwa penggunaan istilah otorita beserta pengaturannya tidak tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan daerah khusus ibu kota negara.
DPD RI mengingatkan bahwa terkait rencana induk yang menjadi Lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang Ibu Kota Negara belum dibahas secara komprehensif dalam forum tripartit.
Demikian beberapa catatan kritis DPD RI, namun demikian DPD RI tetap sangat menghargai keputusan-keputusan hukum dan politik yang berkembang dalam pembahasan RUU ini. DPD RI juga meminta agar catatan-catatan DPD RI dalam DIM yang disampaikan dalam proses pembahasan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam risalah pembahasan RUU tentang Ibu Kota Negara ini.
DPD RI selanjutnya memandang perlu untuk mengingatkan Pemerintah bahwa rencana pemindahan Ibu Kota Negara merupakan pekerjaan besar bangsa Indonesia ditengah-tengah kondisi pandemi covid-19 yang masih membayangi. Banyak aspek yang perlu menjadi perhatian Pemerintah dalam proses pemindahan Ibu Kota Negara, antara lain:
a. Kepastian terhadap lahan yang akan digunakan tidak akan menimbulkan konflik pertanahan baik dengan Pemerintah Daerah maupun masyarakat (adat) yang ada di dalamnya;
b. Desain tata ruang wilayah yang jelas dan memperhatikan kepentingan serta aksesibilitas daerah-daerah penyangga;
c. Kejelasan dan kemampuan pembiayaan pembangunan Ibu Kota Negara baik yang bersumber dari APBN maupun non APBN;
d. Kejelasan sistem dan struktur Pemerintahan DKI Jakarta pasca pemindahan Ibu Kota Negara. Hal ini diperlukan adanya Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. Kejelasan terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan aset-aset negara yang ada di Jakarta. Aset-aset Pemerintah yang ada di Jakarta merupakan kekayaan negara, oleh karenanya jika dilakukan pemindahan Ibu Kota Negara harus ada kejelasan bagaimana aset tersebut dikelola dan dimanfaatkan;
f. Kejelasan desain pemindahan kantor pemerintahan dan lembaga-lembaga negara serta Aparatur Sipil Negara dari Jakarta ke Ibu Kota Negara yang baru;
g. Diperlukan desain transisional penyelenggaraan pemerintahan untuk Pemerintahan Pusat, Pemerintahan Daerah yang ditinggalkan dan Pemerintahan baru di Ibu Kota Negara terutama yang terkait dengan administrasi pemerintahan, kepegawaian, pengelolaan dan pemanfaatan aset, kesiapan infrastruktur, dan suprastruktur.
h. Pentingnya keterlibatan masyarakat, masyarakat adat dan pemerintah daerah sekitar/daerah penyangga Ibu Kota Negara. Hal ini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan melainkan juga sebagai bentuk pengakuan terhadap keberadaan masyarakat daerah dan pemerintahannya yang memiliki kewenangan sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi.
Pemindahan Ibu Kota Negara bukan hanya membangun dan melakukan pemindahan infrastuktur kantor pemerintahan dari Jakarta ke Kalimantan Timur namun juga merupakan sebuah transformasi baik pada sistem kerja birokrasi pemerintahan, Sumber Daya Manusia, ekonomi dan lingkungan, serta sosial-budaya. Selain itu, pemindahan Ibu Kota Negara juga tidak sekedar hanya pemindahan pusat pemerintahan, tetapi membangun kota yang baru, membangun peradaban yang baru sebagai urban community. Oleh karenanya, banyak dampak yang mungkin timbul akibat dari proses pemindahan Ibu Kota Negara tersebut, antara lain Dampak Lingkungan dan Sumber Daya Hayati, Dampak Sosial – Budaya, Dampak Ekonomi dan Geopolitik.
Mengingat banyak hal yang harus dipertimbangkan serta dampak yang mungkin ditimbulkan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, DPD RI meminta agar proses pemindahan Ibu Kota Negara dilakukan dengan tidak tergesa-gesa, namun harus dengan cermat dan penuh kehati-hatian dalam setiap tahapan proses pemindahan Ibu Kota Negara.
Demikian sikap ini kami sampaikan, agar menjadi bagian penting upaya kita bersama untuk mewujudkan Ibu Kota Negara yang aman, modern, berkelanjutan, dan berketahanan, juga dapat menjadi acuan bagi pembangunan dan penataan wilayah perkotaan lainnya di Indonesia.
Akhirnya, DPD RI berharap upaya yang telah dilakukan dalam melaksanakan amanat rakyat daerah dan konstitusi ini bermanfaat untuk kemajuan Daerah dan Bangsa Indonesia khususnya dalam mewujudkan Keadilan dan Kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia serta menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengutip pesan Bapak Bangsa, Ir. Soekarno kami sampaikan bahwa:
“Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke !”
Kiranya Tuhan meridhoi dan memberkati seluruh upaya memajukan bangsa tercinta, Indonesia. Dan semoga kita dilindungi sehingga upaya mendorong keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai semangat Pancasila, dapat terwujud pada akhirnya.
Dr. Agustin Teras Narang, S.H.
Anggota DPD RI Dapil Kalimantan Tengah
Anggota Panja/Pansus/Timus RUU IKN