Jakarta, b-Oneindonesia – Mantan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin dan mantan anggota DPR RI Raden Saleh Abdul Malik membantah telah menipu PT Tirto Alam Cindo (TAC) terkait cek kosong. Keduanya menuding balik PT TAC yang justru berniat menipu. Bantahan sekaligus tuduhan balik tersebut disampaikan melalui kuasa hukum PT Anugerah Pratama Inspirasi (API) Yasrizal. Agusrin merupakan Komisaris PT API, sementara Saleh adalah Direktur Utama PT API.
“Berhentilah menyebar fitnah terhadap Pak Agusrin, mantan Gubernur Bengkulu, dan Pak Saleh, Direktur Utama PT API,” kata Yasrizal dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/12/2021).
Yasrizal mengklaim Saleh merupakan orang dekat salah seorang petinggi negeri. Menurutnya, dugaan penipuan yang dilaporkan PT TAC bohong dan fitnah.
Yasrizal menyebut justru PT TAC yang menipu PT API dengan memanipulasi seolah kondisi barang sesuai kesepakatan. Menurutnya, PT TAC juga memutarbalikkan fakta dengan tujuan menekan Agusrin dan Saleh agar mau membayar Rp 33 miliar.
Yasrizal mengklaim Saleh merupakan orang dekat salah seorang petinggi negeri. Menurutnya, dugaan penipuan yang dilaporkan PT TAC bohong dan fitnah.
Yasrizal menyebut justru PT TAC yang menipu PT API dengan memanipulasi seolah kondisi barang sesuai kesepakatan. Menurutnya, PT TAC juga memutarbalikkan fakta dengan tujuan menekan Agusrin dan Saleh agar mau membayar Rp 33 miliar.
“Sejak awal, Pak Saleh selaku Dirut bersedia melunasi berapa pun nilainya transaksinya. Tapi Pak Saleh meminta dilakukan appraisal oleh tim independen. Akan tetapi selalu dari pihak penjual tidak mau dilakukan appraisal, tetap memaksa membayar Rp 33 miliar,” sebut Yasrizal.
Yasrizal mengungkapkan PT API telah membayarkan uang muka sebesar Rp 7,5 miliar kepada PT TAC saat kesepakatan lisan disepakati. Namun, sebut dia, ketika tim PT API meninjau pabrik, ternyata kondisi mesin-mesin di sana jauh dari kesepakatan, serta banyak mesin-mesin yang diklaim sebagai milik PT TAC dan dijual kembali kepada pemilik asalnya.
“Berdasarkan temuan itulah, Pak Saleh dan Pak Agusrin meminta dilakukan appraisal oleh tim yang independen untuk menemukan nilai yang pantas dan layak untuk mesin-mesin tersebut,” tutur Yasrizal.
“Dan jika tidak mau dilakukan appraisal, transaksi dibatalkan dan uang DP Rp 7,5 miliar minta dikembalikan, dan itu tertuang dalam surat resmi yang dikirimkan Pak Saleh dan Pak Agusrin kepada pihak penjual,” imbuhnya.
Namun, menurut Yasrizal, hingga hari ini PT TAC tidak bersedia dilakukan appraisal. Bahkan dia menyebut PT TAC menekan Agusrin dan Saleh untuk membayar uang Rp 33 miliar. Padahal, berdasarkan hasil appraisal yang dilakukan PT API, nilai barang yang dijual PT TAC hanya Rp 6 miliar.
Sebut Cek Kosong sebagai Jaminan
Lebih lanjut Yasrizal menjelaskan cek kosong dalam kasus ini merupakan kesepakatan jual-beli antara PT API dan PT TAC. Pihak penjual, kata dia, sepakat menyerahkan cek kepada pihak pembeli, dan pihak pembeli menyerahkan cek kepada pihak penjual sebagai jaminan transaksi.
“Cek tersebut masing-masing bisa dicairkan jika balik nama saham pabrik dari penjual kepada pihak pembeli telah selesai dilakukan. Tapi kenyataannya, hingga saat ini saham pabrik yang diperjualbelikan belum diserahkan kepada pihak pembeli. Jadi cek tersebut belum bisa dicairkan oleh masing-masing pihak,” papar Yasrizal.
Yasrizal menuding PT TAC yang berniat melakukan penipuan. Dia mempertanyakan mengapa PT TAC tidak mau melakukan appraisal oleh tim yang independen.
“Dan mengapa mereka tidak mau melakukan balik nama saham, padahal pihak pembeli sudah membayar Rp 7,5 miliar dan masing-masing telah menyerahkan cek sebagai jaminan transaksi,” katanya.
“Kenapa mereka mencairkan cek yang sepakat dijadikan jaminan transaksi, padahal sahamnya belum dipindahkan kepada pembeli. Dan mereka tahu bahwa pembeli meminta di-appraisal terlebih dahulu atau jika tidak mau dilakukan appraisal maka transaksi dibatalkan, dan uang Rp 7,5 miliar harus dikembalikan,” sambung dia.
Karena itu, Yasrizal meminta penegak hukum objektif dalam menangani kasus ini. Sebab, dia menegaskan, nilai barang yang dijual pihak pelapor tidak sesuai dengan harga yang ditetapkan.
“Masak klien kami dipaksa membayar barang rongsokan yang nilainya tidak masuk akal, kemudian diancam dengan diberitakan di media. Perbuatan ini sangat tidak menyenangkan bagi klien kami. Hasil appraisal mesin-mesin ini harganya hanya Rp 6 miliar, tapi dipaksa membayar Rp 33 miliar,” ujar Yasrizal.