Jakarta, b-Oneindonesia – Penjualan 51 persen saham pemerintah di Bank Central Asia (BCA) (BBCA) melalui program divestasi kepada konsorsium Farallon Capital pada 2002 lalu sangat tidak tepat dan terlalu murah.
Penjualan saham murah ini diduga kuat atas intervensi Badan Moneter Internasional (IMF) yang pada akhirnya justru merugikan negara triliunan rupiah.
Hal ini disampaikan Ketua Pansus BLBI DPD RI, Bustami Zainudin disela-sela Rapat dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2003-2008, Burhanudin Abdullah Harahap di Gedung Nusantara III Jakarta, pada Kamis (22/9) lalu.
Burhanudin Abdullah hadir memenuhi undangan Pansus BLBI DPD RI untuk didengar pendapatnya terkait divestasi BCA beberapa waktu lalu.
Hadir dalam rapat ini yakni, H. Sukiryanto (Wakil Ketua Pansus BLBI); H. Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim (Wakil Ketua Pansus BLBI), Ajbar (Wakil Ketua Pansus BLBI); KH. Ir. Abdul Hakim, M.M (Anggota Pansus BLBI); dan Hardjuno Wiwoho (Staf Ahli Pansus BLBI).
Melansir siaran pers, Minggu (25/9) disebutkan bahwa, dalam Rapat kali ini, Pansus BLBI menyampaikan beberapa pertanyaan kunci terkait pengucuran BLBI, penjualan BCA pada 2003 dan kemungkinan moratorium obligasi rekap ex BLBI yang merugikan negara hingga ribuan triliun rupiah.
Bustami dalam pernyataannya memaparkan, konteks pembelian 51% saham BCA pada tanggal 31 Desember 2002 , dimana value asset BCA berdasarkan laporan keuangan auditor independen tercatat Rp 117 Triliunan.
Namun saat transaksi penjualan Saham BCA yang patut diduga terjadi suatu rekayasa intelektual dalam buku BCA ada Obligasi Rekap Pemerintah yang senilai Rp 60 Triliunan yang ditempatkan oleh Menkeu RI tersebut.
Padahal, saham pemerintah yang dimiliki 93% berasal dari pemilik saham BCA lama, yakni Anthony Salim.
Hal tersebut sebagai sisa pelunasan utang Fas BLBI-nya yang Rp 33 Triliun hanya mampu membayar Rp 8 Triliun saja.
Dengan demikian, harga saham BCA 93% = Rp 25 Triliunan, sehingga sesungguhnya value BCA tahun 2003 saat dijual dalam posisi profit atau keuntungan Rp 4 Triliunan.
Rinciannya, riil net value BCA = Rp 60 Triliun + Rp 25 Triliun + Rp 4 Triliun = Rp 89 Triliunan.
Namun anehnya, transaksi penjualan 51% saham BCA kepada Farallon (owner PT. Djarum, Budi Hartono) hanya dengan harga Rp 5 Triliun saja.
Menurut Bustami, transaksi ini sangat janggal. Sebab, BCA menerima Bunga Obligasi Rekap Pemerintah Rp 7 Triliunan sejak tahun 2003 sampai tahun 2009. Hal ini diakui oleh Direktur BCA, Subur Tan.
“Atas pengakuan tersebut, ditemukan fakta suatu kejanggalan kasus kerugian keuangan negara senilai Rp 49 Triliun (subsidi Bunga OR ex BLBI + Rp 89 Triliun (nilai BCA tahun 2003 di luar profit BCA yang diterima oleh Budi Hartono sebagai pemegang saham pengendali BCA sejak tahun 2003) = Rp 138 Triliunan. Bagaimana menurut saudara?” tanya Bustami.
Menjawab pertanyaan tersebut, Burhanudin Abudllah Harahap mengatakan, pada dasarnya, perusahaan-perusahaan yang diserahkan kepada BPPN oleh bank direncanakan akan diserahkan atau dijual kepada pemilik lama.
IMF menyarankan, agar bank-bank itu untuk dijual ke pemilik lama meski akhirnya akan mengalami kerugian 30%. Sebab, jika dijual ke pemilik baru harganya akan lebih murah.
“Namun ironisnya, faktanya dibeli oleh pemilik lama yang menggunakan baju baru,” kata Burhanudin.
Sementara itu, Wakil Ketua Pansus BLBI DPD RI, Sukiryanto mempertanyakan pembayaran bunga Obligasi Rekap jaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebab faktanya, sampai tahun 2014, dana APBN yang dialokasikan untuk membayar bunga Obligasi Rekap pemerintah Ex BLBI sebesar kurang lebih Rp 930 Triliun.
Dan hingga tahun ini (2022), Menkeu RI masih menganggarkan dana APBN Rp 48 Triliunan untuk bunga Obligasi Rekap kepada bank-bank rekap atau para pemegang Obligasi Rekap yang membelinya di pasar sekunder.
Mirisnya, pembayaran bunga obligasi rekap ini terus digelontorkan saat APBN mengalami defisit.
Di sisi lain subsidi untuk BBM, pangan, kesehatan, pendidikan yang dihapuskan atau dibatasi oleh pemangku kebijakan.
“Apakah mungkin kita melakukan moratorium pembayaran bunga rekap BLBI ini?” tanyanya.
Burhanudin Abdullah mengatakan, sebenarnya menginginkan adanya moratorium. Namun lingkungan waktunya tidak tepat.
Alasannya: Pertama, situasi global sangat sulit seperti yang terjadi inflasi di Amerika dan Eropa. Kedua, inflasi di dalam negeri juga meningkat dengan adanya kenaikan BBM, pangan, dan energi.
“Maka di saat kita melakukan moratorium kita akan dianggap default. Jadi terlihat akan aneh,” katanya.
Lebih lanjut, Bustami menjelaskan, jawaban Burhanudin ini akan menjadi bahan bagi Pansus untuk memanggil stakeholder terkait BLBI lainnya.
Sebelumnya, Pansus BLBI DPD RI sudah mengundang Anthony Salim, Budi dan Robert Hartono, serta Sjamsul Nursalim.
“Yang harus diketahui, kita bertindak berdasar temuan BPK dan bukti-bukti berikutnya bersama dengan undangan kita pada semua pihak yang tahu duduk persoalan BLBI dan obligasi rekap. Kita akan jalan terus, pantang mundur karena rakyat sedang susah, konglomerat hitam yang rugikan negara ribuan triliun ini harus kita hentikan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Siapa pun itu sama di mata hukum,” ujar Bustami.