Jakarta, b-Oneindonesia – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan jika ia bukan oposisi Pemerintah. LaNyalla mengatakan, ia bertindak sebagai negarawan dalam berbagai persoalan bangsa.
Menurutnya, seorang negarawan harus adil sejak dalam pikiran dan melihat semuanya secara jernih dengan akal dan hati serta mendengarkan aspirasi rakyat.
Hal itu disampaikan oleh LaNyalla saat menerima audiensi Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (28/3/2022).
Hadir dalam kesempatan itu Dewan Pengurus PNKN, Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara dan Jenderal TNI (Purnawirawan) Sunarko, Letjen TNI Mar (Purn) Soeharto, Guru Besar Universitas Indonesia yang juga pegiat UI Watch, Taufik Bahauddin, Dewan Pengurus Pusat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, Eggy Sudjana dan Habib Muchsin Alatas, sejumlah aktivis, mahasiswa dan aliansi rakyat lainnya.
“Posisi saya sebagai Ketua DPD RI, yang juga Senator, memang meminta kepada seluruh anggota DPD RI untuk tidak tersekat dalam kelompok tertentu. Tetapi mewakili dan menerima seluruh elemen. Karena, sejatinya seorang Senator harus berpikir dan bertindak sebagai seorang Negarawan yang berada di dalam wilayah legislatif,” katanya.
Dalam kesempatan itu LaNyalla berterima kasih, karena DPD RI untuk kesekian kalinya dipercaya oleh elemen civil society, dalam menitipkan aspirasinya. Meskipun hasil Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002, memberikan ruang kekuasaan yang cukup besar kepada Partai Politik.
Sementara peran DPD RI tidak diberi ruang yang cukup sebagai peserta Pemilu Perseorangan.
Hegemoni partai politik hasil Amandemen Konstitusi 20 tahun lalu, lanjut LaNyalla, tercermin dalam kalimat yang disampaikan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, pada 8 Maret, dalam konteks Penundaan Pemilu, dimana dikatakan; ‘Kalau Partai Politik Kompak, Jokowi Pasti Setuju’.
“Kalimat tersebut menandakan betapa hegemoni partai politik begitu besar dalam sistem tata negara kita. Kalimat tersebut menunjukkan bagaimana negara ini bisa diatur suka-suka atas dasar kekompakan partai politik saja. Asal partai kompak, mau apa saja pasti bisa,” katanya.
Hal itu sudah terbukti bagaimana secepat kilat partai politik melalui Fraksinya di Senayan mengesahkan PERPPU menjadi Undang-Undang. Bagaimana DPR tidak secara luas melibatkan publik dalam membahas Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang, meskipun banyak pakar dan akademisi serta masyarakat yang menyoal.
“Semua jalan saja. Rakyat tidak puas, silakan bawa ke Mahkamah Konstitusi. Lalu oleh MK ditolak dengan alasan legal standing atau ditolak materinya. Dan
keputusan MK bersifat final. Rakyat pun tidak bisa berbuat banyak,” papar dia.
Lalu apalah artinya rakyat sebagai pemilik sah negara ini? Karena memang faktanya sebagai rakyat, yang notabene pemilik sah kedaulatan negeri ini tidak bisa menghalangi produk hukum yang dihasilkan dari kesepakatan partai politik dan pemerintah.
“Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan saya katakan, bahwa Demokrasi di Indonesia hari ini telah berubah arti. Bukan lagi; ‘Dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat’. Tetapi telah berubah menjadi;
‘Dari Rakyat, Oleh Partai Politik, dan Untuk Kekuasaan’,” tegasnya.
Semua itu terjadi, jelas LaNyalla, karena kesalahan bangsa ini yang lengah saat melakukan Amandemen Konstitusi 20 tahun yang lalu. Karena pada akhirnya dengan sengaja meninggalkan sistem Demokrasi Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila, yang merupakan Watak Dasar dan DNA Asli bangsa
Indonesia.
“Kita rela menjadi bangsa lain, menjadi bangsa barat, demi pujian masyarakat internasional bahwa kita adalah negara majemuk yang demokratis, dalam ukuran demokrasi barat. Meskipun yang kita lakukan adalah demokrasi prosedural. Jadi apa yang kita banggakan hari ini? Apa yang kita banggakan dari Amandemen Konstitusi yang dibarengi dengan Euforia menumbangkan Orde Baru saat itu? Apa yang kita banggakan dengan Sistem Demokrasi Liberal dan Sistem ekonomi Kapitalistik hari ini?” ujarnya.
Dilanjutkan olehnya, bahwa akar persoalan bangsa ada di sektor Hulu, bukan di sektor Hilir. Sehingga pembenahan bangsa ini harus fundamental. Tidak bisa bersifat Kuratif atau Karitatif.
“Sejak dilantik sebagai Ketua DPD RI, sebagai wakil daerah, hingga hari ini, saya sudah keliling ke-34 Provinsi dan hampir separuh dari Kabupaten/Kota di Indonesia. Saya menemukan permasalahan yang hampir sama, yaitu kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kegelisahan masyarakat di daerah yang tidak dapat ikut merasakan kekayaan sumber daya alam di daerahnya. Ini persoalan fundamental yang harus dibenahi,” papar dia.
Dalam mengentaskan kemiskinan, LaNyalla mencontohkan, negara tidak bisa hanya melakukan intercept dengan bantuan-bantuan sosial. Sementara kebijakan di Hulu memberi
ruang sebesar-besarnya kepada Oligarki untuk menguasai ekonomi dan menguras sumber daya alam.
Oleh karena itu, LaNyalla mengajak kembali kepada Falsafah yang telah dibuat dan disepakati oleh para pendiri bangsa yaitu Pancasila. Dimana tujuan hakiki dari lahirnya bangsa ini adalah mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
“Kita jangan jadi bangsa yang murtad terhadap jati dirinya. Jangan menjadi generasi durhaka kepada para pendiri bangsa dan jangan bangga menjadi bangsa yang tercerabut dari akar budayanya sendiri. Karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarah peradaban, menghargai pemikiran luhur para pendiri bangsa. Dan hanya bangsa yang besar yang berani menyingsingkan lengan untuk berdaulat, mandiri dan berdikari tanpa campur tangan negara lain,” tegasnya.
Di Depan PNKN, LaNyalla Tegaskan Penolakan Penundaan Pemilu Adalah Amanat Kebangsaan
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan jika DPD RI menolak wacana penundaan Pemilu 2024. Menurutnya, Pemilu setiap 5 tahun merupakan amanat kebangsaan yang harus ditepati.
“Bangsa ini sudah sepakat bahwa masa jabatan presiden hanya 5 tahun, dan maksimal 2 periode. Bahwa pemilu adalah mekanisme evaluasi yang diberikan kepada rakyat setiap 5 tahun sekali. Ini prinsip. Sehingga meskipun Konstitusi bisa diubah, tetapi prinsip ini adalah amanat kebangsaan, dimana bangsa ini telah belajar dari dua Orde dimana masa jabatan presiden tidak dibatasi,” katanya.
LaNyalla menyampaikan dirinya bukan dalam posisi sebagai Oposisi Pemerintah. Namun dalam konteks tersebut harus adil sejak dalam pikiran dan melihat semuanya secara jernih dengan akal dan hati serta mendengarkan aspirasi rakyat.
“Soal wacana penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden memang harus kita tolak dengan menggunakan kerangka berpikir seorang Negarawan. Karena penolakan itu adalah prinsip kebangsaan yang dikehendaki rakyat kebanyakan,” ucapnya lagi.
Dilanjutkannya, bahwa akar persoalan bangsa ada di sektor Hulu, bukan di sektor Hilir. Sehingga pembenahan bangsa ini harus fundamental. Tidak bisa bersifat Kuratif atau Karitatif.
“Sejak dilantik sebagai Ketua DPD RI, sebagai wakil daerah, hingga hari ini, saya sudah keliling ke-34 Provinsi dan hampir separuh dari Kabupaten/Kota di Indonesia. Saya menemukan permasalahan yang hampir sama, yaitu kemiskinan, ketimpangan, ketidakadilan, dan kegelisahan masyarakat di daerah yang tidak dapat ikut merasakan kekayaan sumber daya alam di daerahnya. Ini persoalan fundamental yang harus dibenahi,” papar dia.
Dalam mengentaskan kemiskinan, LaNyalla mencontohkan, negara tidak bisa hanya melakukan intercept dengan bantuan-bantuan sosial. Sementara kebijakan di Hulu memberi ruang sebesar-besarnya kepada Oligarki untuk menguasai ekonomi dan menguras sumber daya alam.
Oleh karena itu, LaNyalla mengajak kembali kepada Falsafah yang telah dibuat dan disepakati oleh para pendiri bangsa yaitu Pancasila. Dimana tujuan hakiki dari lahirnya bangsa ini adalah mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
“Kita jangan jadi bangsa yang murtad terhadap jati dirinya. Jangan menjadi generasi durhaka kepada para pendiri bangsa dan jangan bangga menjadi bangsa yang tercerabut dari akar
budayanya sendiri. Karena bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai sejarah peradaban, menghargai pemikiran luhur para pendiri bangsa. Dan hanya bangsa yang besar yang berani menyingsingkan lengan untuk berdaulat, mandiri dan berdikari tanpa campur tangan negara lain,” tegasnya.
Dalam kesempatan itu LaNyalla berterima kasih, karena DPD RI untuk kesekian kalinya dipercaya oleh elemen civil society, dalam menitipkan aspirasinya. Meskipun hasil Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002, memberikan ruang kekuasaan yang cukup besar kepada Partai Politik. Sementara peran DPD RI tidak diberi ruang yang cukup sebagai peserta Pemilu Perseorangan.
“Tetapi DPD RI, sebagai wakil daerah, wakil dari stakeholder yang ada di seluruh daerah, tetap akan berusaha maksimal meresonansikan apa yang disampaikan seluruh elemen masyarakat. Posisi saya sebagai Ketua DPD RI, yang juga Senator, memang meminta seluruh anggota DPD RI untuk tidak tersekat dalam kelompok tertentu. Tetapi mewakili dan menerima seluruh elemen”.ujarnya.
Sejatinya seorang Senator harus berpikir dan bertindak sebagai seorang Negarawan yang berada di dalam wilayah legislatif,” ujar dia.
PNKN Sebut Perpanjang Masa Jabatan Presiden Pengkhianatan Terhadap UUD 1945
Perpanjangan masa jabatan presiden merupakan bentuk pengkhianatan terhadap UUD 45.
Koordinator PNKN Abdullah Hehamahua menyampaikan banyak fenomena yang mengkhawatirkan terjadi selama tujuh tahun pemerintahan Presiden Jokowi. Fenomena itu dikhawatirkan akan membuat rakyat marah dan berpotensi adanya pergantian kepemimpinan nasional seperti pada tahun 1967 dan 1998.
Oleh karena itu PNKN meminta agar berbagai fenomena tersebut disikapi oleh DPD RI, sebagai lembaga yang sampai saat ini masih dipercaya oleh rakyat.
“Tujuh tahun pemerintahan, kami ini khawatir terhadap bubarnya NKRI, terbelahnya anak bangsa, penginjakan konstitusi serta rakyat yang sangat terjajah oleh oligarki,” ujar dia.
Sementara, Marwan Batubara membacakan beberapa poin rekomendasi dan pokok pikiran yang harus disikapi oleh DPD RI.
Poin pertama terkait wacana pengunduran Pemilu, Presiden dianggap tidak tegas karena tidak melarang munculnya opini dan wacana soal itu.
“Presiden malah mengatakan kalau wacana itu merupakan bentuk demokrasi. Artinya dia tidak tegas melaksanakan UUD 1945. Presiden tidak sadar bahwa demokrasi Pancasila adalah kebebasan masyarakat dalam berpendapat berdasarkan sila 1 Pancasila. Bukan demokrasi liberal seperti di luar negeri,” katanya.
Poin selanjutnya yaitu fakta adanya beberapa pimpinan partai yang menyatakan dukungan terhadap penundaan Pemilu dengan alasan Pandemi dan pemulihan ekonomi nasional.
“Padahal pada Pilkada tahun 2021 saat Covid sedang tinggi, pemilihan tetap digelar. Jadi alasan Pandemi sangat tidak rasional. Juga alasan pemulihan ekonomi dimana justru pemerintah berambisi untuk memindahkan IKN dengan biaya Rp466 triliun,” paparnya lagi.
PNKN menilai para pimpinan partai itu mendukung wacana penundaan Pemilu karena adalah tekanan psikologis akibat berita-berita keterlibatan mereka dengan aparat hukum terkait isu KKN. Kondisi psikologis itu dimanipulasi oleh individu menteri dan pejabat tinggi yang kongkalikong dengan oligarki untuk memeras rakyat.
“Buktinya adalah kelangkaan dan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok yang terjadi belakangan ini,” jelas Marwan lagi.
Dilanjutkan Marwan, sebagai lembaga negara yang merupakan bagian dari MPR, DPD RI perlu melakukan Sidang MPR untuk mengevaluasi kinerja Presiden dan Wakil Presiden apakah melanggar UUD 1945 atau tidak.
“DPD RI dapat melakukan hal ini dengan menakar pelaksanaan RPJM dan janji-janji Presiden, khususnya yang disampaikan saat kampanye Pilpres 2914 dan 2019,” paparnya.
“Makanya DPD RI mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab konstitusional untuk segera melakukan Sidang Umum MPR itu,” katanya.
PNKN juga berharap DPD RI pro aktif dan bermitra dengan DPR RI maupun lewat Sidang MPR untuk semua kebijakan pembangunan yang sarat dengan intervensi oligarki melalui apa yang disebut korupsi politik.
“Korupsi politik merupakan bentuk korupsi yang dilakukan melalui Pemilu, Pilkada dan Peraturan Perundangan yang secara tertulis terlihat baik, padahal untuk kepentingan kelompok tertentu, khususnya oligarki,” katanya.
Demi menyelamatkan eksistensi NKRI, kewibawaan Konstitusi dan nasib rakyat kecil, PNKN dan sejumlah aliansi rakyat meminta poin-poin tersebut diperhatikan serius oleh DPD RI.
Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, yang didampingi anggota DPD RI Tamsil Linrung, berharap diskusi dan dialog serupa terus berjalan. Dengan berdialog, satu persatu permasalahan bangsa akan menemukan solusinya.
“Kami berharap bisa rutin berdialog. Jadikan DPD RI sebagai rumah aspirasi. Kami terbuka dan siap menampung semua aspirasi rakyat,” katanya.