Jakarta, b-Oneindonesia – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai penerapan Haluan Negara sangat diperlukan untuk memberikan Arah Perjalanan Bangsa. Tetapi, LaNyalla memberi beberapa catatan penting.
“Pertama, Haluan Negara harus menjadi pedoman tertinggi atau peta jalan dalam tataran implementasi untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan lahirnya negara,” ujarnya ketika menjadi narasumber dalam FGD yang diselenggarakan Direktorat Kajian Ideologi dan Politik Lemhannas RI, dengan tema; ‘Konstitusionalitas Haluan Negara Guna Menjaga Kesinambungan Pembangunan Nasional’, Senin (28/8/2023).
Kedua, lanjutnya, Haluan Negara harus disusun oleh perwakilan Seluruh Elemen Bangsa tanpa ada yang ditinggalkan. Sehingga Haluan Negara harus disusun di dalam Lembaga Tertinggi Negara, yang terdiri dari Unsur mereka yang dipilih melalui Pemilu, yaitu anggota DPR, dan Unsur mereka yang diutus, yaitu Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
“Dan ketiga, Haluan Negara harus menjadi pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, sehingga menjadi tolok ukur kinerja di akhir masa jabatan Presiden sebagai Mandataris MPR,” tukasnya.
Dengan demikian, tambahnya, penerapan kembali Haluan Negara atau dalam istilah lain, Pokok-Pokok Haluan Negara tanpa dibarengi dengan kembalinya negara ini kepada Azas dan Sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa, hanya akan menimbulkan persoalan baru.
“Karena selama kedaulatan rakyat secara langsung diberikan kepada Presiden terpilih dalam Pemilihan Presiden Langsung, maka sejatinya Presiden harus membuat program sendiri, Menyusun janji-janji dalam kampanye yang disampaikan kepada rakyat,” tandasnya.
Hal itu, sambung anggota DPD asal Jawa Timur itu, kita telah membuka peluang terjadinya perbedaan Visi, Misi dan Tujuan antara satu calon presiden dengan calon presiden lainnya.
Padahal hal itu adalah persoalan yang sangat serius, bila kita tinjau dari Visi dan Misi lahirnya bangsa ini yang sudah termaktub di Naskah Pembukaan UUD kita di Alinea kedua dan Alinea Keempat.
“Sehingga yang terjadi, Presiden terpilih juga dapat menghapus program yang sudah ditetapkan oleh Presiden sebelumnya. Atau sebaliknya, tidak meneruskan Program yang sudah dijanjikan Presiden sebelumnya yang belum tuntas,” ungkapnya.
LaNyalla juga mengulas tentang UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang sejak era Reformasi dianggap sebagai pengganti GBHN.
Kita bisa lihat di BAB VIII tentang Kelembagaan, di Pasal 32 Ayat (1) dan (2) yang menyebutkan; (1) Presiden menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas Perencanaan Pembangunan Nasional. (2) Dalam menyelenggarakan Perencanaan Pembangunan Nasional, Presiden dibantu oleh Menteri.
“Sangat jelas, bahwa Presiden mempunyai kewenangan yang diberikan UU, untuk Menyelenggarakan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dan Presiden mempertanggungjawabkan kepada dirinya sendiri selaku perencana. Dan dalam melaksanakan kewenangan itu, Presiden dibantu oleh Menteri Kabinet, yang jelas bertanggungjawab kepada Presiden. Dan dapat diganti melalui Hak Prerogatif Presiden,” urainya.
Pasal tersebut, menurutnya, kontradiktif dengan bunyi pertimbangan UU tersebut, yang termaktub di huruf C, yang menyatakan; ‘bahwa tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan’.
“Frasa kata pembangunan berkeadilan jelas berorientasi kepada pembangunan yang pro kepada rakyat dan untuk semua. Sedangkan frasa kata demokratis, jelas merupakan agenda yang disusun atau yang menjadi keinginan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Bukan keinginan presiden,” ujarnya.
UU 25/2004 juga masih memberi peluang kepada Perencana Pembangunan untuk Menyusun Visi dan Misi. Hal ini tentu juga bertentangan bila kita kaji dari makna kalimat di Alinea kedua dan keempat Naskah Pembukaan Konstitusi yang merupakan hakikat dari Visi dan Misi negara.
“Karena dalam Azas dan Sistem Pancasila, sejatinya, Presiden sebagai Mandataris MPR hanya bertugas menyiapkan Strategi Pencapaian sebagai langkah untuk mewujudkan Haluan Negara,” imbuhnya.
Untuk itu, Presiden menyusun Program sebagai instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah/lembaga untuk mencapai sasaran dan untuk memperoleh alokasi anggaran, atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh instansi pemerintah.
Jadi, lanjut Lanyalla, dapat saya simpulkan bahwa Undang-Undang SPPN, meskipun diberi sarana melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbang), tetap saja bukan merupakan pembanding atau persamaan dengan Sistem Haluan Negara. Karena sekali lagi, Haluan Negara merupakan pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Karena itu, bagi saya, bangsa ini harus kembali kepada sistem bernegara sesuai rumusan pendiri bangsa. Untuk kemudian kita sempurnakan dan perkuat. Caranya dengan kita kembali dulu kepada UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, lalu kita lakukan Amandemen dengan Teknik Adendum, sebagai penyempurnaan dan penguatan agar kita tidak mengulang praktek penyimpangan yang terjadi di masa lalu.
Sehingga kita tidak mengubah total sistem bernegara. Karena mengubah total sistem bernegara seperti yang kita lakukan pada tahun 1999 hingga 2002 terbukti telah membuat Konstitusi kita meninggalkan Pancasila sebagai Identitas Konstitusi dan Norma Hukum Tertinggi.
“Ini bukan pendapat saya. Tetapi hasil kajian sejumlah profesor hukum dan filsafat di beberapa perguruan tinggi,” ungkapnya.
Bahkan Komisi Konstitusi yang dibentuk melalui Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2002 yang bertugas melakukan kajian atas Amandemen di tahun 1999 hingga 2002 telah menyatakan; ‘Akibat tiadanya Kerangka Acuan atau Naskah Akademik dalam melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945, merupakan salah satu sebab timbulnya in-konsistensi Teoritis dan Konsep, dalam mengatur materi muatan Undang-Undang Dasar.’
“Ini artinya Amandemen di tahun 1999 hingga 2002 tersebut tidak dilengkapi dengan pendekatan yang menyeluruh dari sisi Filosofis, Historis, Sosiologis, Politis, Yuridis, dan Komparatif,” tutupnya.
Di tempat yang sama, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof Jimly Asshiddiqie yang juga bertindak sebagai narasumber sependapat dengan apa yang disampaikan Ketua DPD RI. Dikatakannya, dalam pembahasan ini ada dua hal yang perlu disoroti. Pertama adalah Haluan Negara dan kedua tentang sistem bernegara.
“Ada dua hal yang perlu dibahas. Pertama tentang Haluan Negara dan evaluasi total sistem bernegara dan konstitusi kita beserta implementasinya setelah Reformasi berjalan 25 tahun,” tutur Prof Jimly.
Dikatakannya, banyak hal yang perlu dievaluasi setelah 25 tahun Orde Reformasi berjalan, utamanya mengenai UUD 1945. Hanya saja, Jimly mengakui bahwa perubahan UUD 1945 tak mudah diinisiasi. “Amandemen kelima silakan dirancang dan jangan ditutup peluangnya, tapi jangan hanya untuk PPHN. Sayang. Ayo lakukan evaluasi total terhadap sistem bernegara kita, termasuk struktur parlemen kita,” kata Jimly.
Gagasan Ketua DPD RI mengenai kembali ke UUD 1945 naskah asli untuk selanjutnya disempurnakan dan diperkuat dengan teknik adendum mendapat perhatian khusus Prof Jimly. Hanya saja, Jimly menggariskan bahwa wacana tersebut itu harus dilakukan dalam kerangka perbaikan arah bangsa ke depan.
Selain Ketua DPD RI dan Prof Jimly, hadir juga Ketua MPR RI sebagai narasumber pada acara tersebut. Sedangkan Prof Saiful Mujani yang merupakan Guru Besar Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (FISIP UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dihadirkan sebagai penanggap.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin. Hadir pula di antaranya Gubernur Lemhannas RI Andi Widjajanto, Sekretaris Utama Lemhannas RI Komjen Rudy Sufahriadi, Deputi Pengkajian Strategik Lemhannas RI, Prof Reni Mayerni, Direktur Pengkajian Ideologi dan Politik Lemhannas Brigjen TNI Aloysius Nugroho Santoso, Tenaga Profesional Bidang Geostrategi dan Tannas Lemhannas RI yang bertindak sebagai Fasilitator, Dr Margaretha Hanita, Pengamat Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy beserta sejumlah tamu undangan lainnya.