Batam, b-Oneindonesia – Solusi pendekatan baru untuk memerangi terorisme mestinya bukan hanya dari hilir, namun diperlukan dari hulu. Senator Richard Pasaribu mengatakan bahwa yang harus dilakukan adalah mencari akar permasalahannya dan dalang-dalang teror yang dari waktu ke waktu terus mengganggu stabilitas sosial melalui pelbagai macam tindakan penyerangan terhadap tempat ibadah.
Dikatakan Richard, yang menjadi masalah di sini adalah adanya pikiran, pemahaman, ajaran, dan keyakinan dari para teroris itu, yang meskipun salah dan berpotensi melanggar hukum, namum tetap saja mereka lakukan, karena menurut pikiran, pemahaman, ajaran, dan keyakinannya, aksinya itu dibenarkan, diwajibkan, bahkan merupakan perbuatan “terpuji” yang akan diganjar dengan imbalan yang besar.
“Memerangi pikiran, pemahaman, ajaran, dan hasutan sesat, yang menyebabkan warga masyarakat yang kurang cerdas menjadi semakin bodoh sampai membunuh dirinya sendiri dan juga orang lain yang tak bersalah terhadap mereka,” ungkap senator asal Kepulauan Riau ini di Batam, Selasa (30/3)
Dikatakannya, kejadian aksi terorisme di pintu masuk Gereja Katedral Makasar pada Hari Minggu tanggal 28 Maret 2021 adalah serangan bom bunuh diri terhadap suatu tempat ibadah. Bagi pengamat yang jeli membaca situasi, berita terbesar sesungguhnya bukanlah bahwa ada gereja yang dijadikan sasaran serangan bom, karena sudah terlalu sering gereja dijadikan target penyerangan oleh para teroris.
“Mereka berpikir bahwa tindakan semacam itu benar. Mereka memahami bahwa perbuatannya itu merupakan kewajiban, dan mereka meyakini bahwa ada upah, hadiah, imbalan, atau manfaat yang akan diperolehnya apabila aksinya itu dijalankan. Sebab hanya orang yang tak waras yang bisa nekad membunuh diri sendiri dengan jalan membom tempat ibadah orang lain,” papar Richard lagi.
Lebih lanjut Richard menjelaskan jika aparat negara sudah sangat gencar menindak para teroris dari waktu ke waktu. Tetapi yang ditindak adalah pelakunya di kawasan hilir, bukan pengajar, perancang, atau penghasutnya di kawasan hulu. Inilah sebabnya maka aksi penyerangan terhadap tempat ibadah selalu saja terjadi. Maka solusi tuntas terhadap aksi terror semacam ini mestinya dilakukan melalui penindakan tegas oleh negara terhadap para pengajar, perancang, atau penghasut teror di kawasan hulu.
“Dibutuhkan senjata lain lagi yang lebih efektif untuk menghabisi terorisme di kawasan hulu, agar aksi-aksi teror di kawasan hilir bisa dihentikan secara tuntas. Dan senjata lain yang lebih efektif itu adalah upaya penyadaran secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) melalui pendidikan dan bimbingan keagamaan yang dilakukan dalam kerangka negara yang berdasarkan Pancasila”, terang Richard yang juga Wakil Ketua BKSP DPD RI.
Menurutnya, di negeri yang sangat pluralis ini dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan untuk setiap pemeluk agama saling menerima dan menghormati perbedaan sebagai bagian dari satu keluarga besar bangsa Indonesia yang bersatu di dalam keragaman. Dengan demikian maka ketika terjadi suatu peristiwa atau hal-hal yang mengganggu stabilitas sosial, termasuk penyerangan terhadap tempat ibadah, maka kejujuran dan keterbukaan itu akan memandu kita untuk secara bergotong-royong menemukan solusi terbaik demi menjaga stabilitas nasional.
“Sudah bukan zamannya lagi untuk bersikap defensif atau pun menuding ke kanan-kiri ketika ada tempat ibadah suatu umat dijadikan sasaran aksi teror. Sebab para teroris tidak memilih-milih targetnya. Dan yang menjadi korban terorisme biasanya termasuk juga warga masyarakat yang sama sekali tak ada kaitannya dengan sasaran yang dituju,” ungkap Senator Richard.
Dengan demikian, tutur Richard, maka perang melawan terorisme tak bisa hanya dibebankan kepada Densus 88 dan aparat penegak hukum lainnya. :Ia harus menjadi beban dan tugas semua instansi penyelenggara negara, termasuk perancang dan pelaku kebijakan di bidang pendidikan, keagamaan, perekonomian, dan juga kemasyarakatan, dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah yang melibatkan segenap komponen bangsa,” pungkasnya.