Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah Ajak Berhijrah Pola Pendidikan Digital dalam Paradigma Pendidikan Nasional Pasca Covid-19 

Jakarta, b-Oneindonesia – Setelah wabah Covid-19 berakhir nanti, Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengajak semua pihak untuk melakukan hijrah bersama dalam dunia pendidikan. Yaitu dari semula menggunakan model konvensional menuju paradigma baru berbasis Teknologi Informasi (TI) atau virtual.

Basarah menyatakan, selama ini, pendidikan nasional banyak berorientasi pada pola tatap wajah di kelas. Sementara, penggunaan TI seperti penggunaan gawai, laptop, dan sejenisnya seolah berjalan sendiri, bahkan cenderung disalahgunakan. Maka, setelah Covid-19 reda nanti, semua pihak hendaknya menjadikan pola pendidikan digital sebagai prioritas utama sambil mengontrol penggunaan TI ke arah yang lebih mencerdaskan bangsa.

‘’Jika media sosial selama ini terkesan mengambil alih pembentukan karakter bangsa dan banyak disalahgunakan, misalnya untuk menyebarkan terorisme, propaganda melawan ideologi Pancasila, kampanye negatif gaya hidup LGBT yang tidak sesuai dengan kultur bangsa, pasca Covid-19 semua guru, dosen, orangtua, dan sekaligus pelajar dan mahasiswa terlibat bersama-sama menggunakan fasilitas modern itu untuk membangun kultur pendidikan dan peradaban baru yang lebih sehat,’’ jelas Basarah, Sabtu (2/5/20)

Ajakan berhijrah itu disampaikan Ketua Fraksi MPR RI PDI Perjuangan ini dalam rangka menyemarakkan Peringatan Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) yang sekaligus untuk merespons seruan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Anwar Makarim. Dalam pesannya secara nasional pada upacara bendera peringatan Hardiknas secara virtual guna mematuhi protokol kesehatan, Mendikbud mengajak semua insan pendidikan di Tanah Air mengambil hikmah dan pembelajaran dari krisis Covid-19.

“Belajar memang tidak selalu mudah, tetapi inilah saatnya kita berinovasi. Saatnya kita melakukan berbagai eksperimen. Inilah saatnya kita mendengarkan hati nurani dan belajar dari Covid-19,” ujar Nadiem.

Menurut Basarah, dengan melakukan hijrah, paradigma pendidikan nasional yang lebih mengedepankan basis digitalisasi proses pengajaran. Bangsa Indonesia dengan sendirinya juga telah merespons ajakan Mendikbud untuk berinovasi, melakukan banyak eksperimen, dan mendengarkan hati nurani secara sekaligus.

‘’Dengan berhijrah ini, kita mendengarkan hati nurani karena selama ini kita seolah tertidur dengan pola lama yang mengabaikan dampak negatif teknologi informasi. Sekarang, dengan terlibat dalam proses belajar mengajar bersama, semua dosen, guru, murid, mahasiswa, dan juga orang tua dengan sendirinya mempersempit ruang penyalahgunaan TI dan media sosial, terutama oleh anak-anak kita,’’ jelas anggota Komisi X DPR ini.

Menurut dosen pascasarjana Universitas Brawijaya Malang itu, semua pranata sosial di Tanah Air punya hakim pengawas sendiri-sendiri. Dalam lingkup keluarga, ada orang tua yang menjadi pengawas. Dalam lembaga pendidikan, ada guru dan dosen yang menjadi hakim pengawanya. Dalam lingkungan sosial, ada ketua lingkungan yang mengawasi. Sementara media massa punya pengawas bernama Dewan Pers, Komisi Penyiaran Informasi (KPI), dan Komisi I DPR.

‘’Nah, selama ini kita merasakan, hanya media sosial yang tidak punya pengawas. Dunia maya ini berkembang liar hingga mudah disalahgunakan, mulai dari eksploitasi pornografi sampai digunakan untuk terorisme. Kini, dengan berhijrah, kita bisa memaksimalkan teknologi informasi itu ke arah yang lebih mencerdaskan bangsa, lebih terarah sesuai kepribadian bangsa kita sendiri,’’ jelas Ketua Wantimpus GM-FKPPI itu.

Basarah menambahkan, dengan berhijrah dalam paradigma pendidikan nasional ini, dengan sendirinya banga Indonesia tetap berpegang teguh pada filosofi dan paradigma perjuangan pendidikan Ki Hajar Dewantara, pahlawan nasional sekaligus ‘’Bapak Pendidikan Nasional Republik Indonesia’’. Filsosofinya tentang pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melenyapkan kebodohan dari bumi Indonesia. Atas dasar filosofi pendidikannya itulah hari kelahirannya, 2 Mei, dijadikan Hari Pendidikan Nasional seperti tertuang dalam Keppres Nomor 316/1959 yang dikeluarkan 16 Desember 1959.

Yang harus menjadi catatan pemerintah, tambah Basarah, adalah, jika pola pendidikan digital ini dipraktikkan secara nasional, jangan sampai ada anak-anak bangsa yang tidak bisa memperoleh hak pendidikannya. Karena masih banyak daerah di pelosok tanah air yang belum mendapatkan fasilitas internet serta tidak semua orang tua peserta didik mampu menyiapkan perangkat TI untuk mengikuti pola pendidikan secara virtual tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *