Oleh : Didik Sasono Setyadi
Saya berterimakasih kepada Romo Magniz-Suseno, yang penah menulis buku berjudul Pijar-pijar Filsafat, yang mengingatkan kembali kita semua pada Adam Muller seorang Filsuf yang di Eropa sendiri tidak begitu kondang namanya.
Adam Muller adalah bakah dari aliran “Romantisme Negara”, yang mengidealkan suatu struktur hubungan Negara dengan rakyat sebagai suatu bagian terintegrasi yang tidak dapat dipisahkan. Manusia (apalagi manusia modern) tidak ada yang berada di luar konteks Negara, setidaknya dengan masyarakat. Manusia adalah anggota masyarakat dan masyarakat adalah bagian dari rakyat suatu Negara.
Romantisme Negara berangkat dari ajaran etis, yang menolak individualisme dan rasionalisme yang mempostulasikan Negara hanyalah suatu sistem yang dibentuk untuk “melayani kebutuhan tertentu” dari masyarakat. Penganut ajaran romantisme Negara tidak bisa menerima postulasi yang demikian itu. Muller menolak absolutisme hak-hak individual, Muller menolak pemisahan mutlak kelembagaan-kelembagaan dalam Negara, sebab bagi Muller Negara adalah sebuah “perluasan dari keluarga”. Sekalipun di dalamnya bisa terjadi konflik, pertentangan, perselisihan namun itu adalah urusan “dalam negeri” yang tidak boleh dicampuri oleh individu dari luar atas nama apapun.
Adam Muller lahir di Berlin 1779 dan wafat pada tahun 1829. Tulisan-tulisannya justru baru diterbitkan di Jerman pada tahun 1920 an (beberapa puluh tahun setelah dia wafat).
Seiring dengan waktu wafat hingga diterbitkannya tulisan-tulisan Muller, di Indonesia terjadi suatu dinamika politik kolonialisme, dimana pada akhir abad XIX dan memasuki abad XX ditandai munculnya Politik Etis Belanda di Indoneia. M.C. Ricklefs, mencatat novel Max Havelaar (1860) mempunyai pengaruh besar dalam perubahan pandangan politik Belanda terhadap Hindia Belanda. Bahkan dikatakan olehnya “Pada akhir abad XIX, para pegawai Kolonial baru berangkat menuju Indonesia dengan membawa Max Havelaar” di dalam kopor mereka dan isi novel di kepala mereka” (Ricklefs, 2005: 319). Para Kapitalis Belanda mulai sadar dan melihat bahwa Indonesia (Hindia Belanda) seharusnya bukan hanya diekspolitasi, namun bisa menjadi potensi pasar, sekaligus potensi tenaga kerja terampil yang lebih murah, oleh karenanya rakyatnya perlu ditingkatkan kesejahteraan dan pendidikannya.
- Th. van Deventer, seorang Ahli Hukum yang pernah tinggal di Indonesia (1880 – 1897) pernah menulis sebuah artikel berjudul “Een eereschuld” (suatu Hutang Kehormatan), yang menyatakan bahwa Bangsa Belanda telah berhutang kehormatan terhadap Bangsa Indonesia, oleh karena itu harus dibayar dengan peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia (Hindia Belanda), sehingga van Deventer terkenal sebagai Kampiun Politik Etis Belanda, sehingga akhirnya Ratu Wilhemina menunjuk W.F Idenburg menjadi Gubernur Jendral Belanda ( pada tahun 1909 – 1916, setelah sebelumnya menjabat Menteri Urusan Daerah Jajahan). Dialah kemudian Gubernur Jendral yang mempraktekkan politik etis Belanda di Hindia Belanda.
Apa yang terjadi di Indonesia (Hindia Belanda) saat itu? Seorang pemuda bernama Suwardi Suryaningrat, menulis artikel “Als ik eend Nederlander was” yang terbit di Surat Kabar De Express pada tanggal 19 Juli 1913, yang kemudian membuat si penulisnya ditangkap dan diasingkan ke Belanda. Suwardi yang kemudian lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro mengkritisi rencana perayaan peringatan Kemerdekaan Belanda dari Perancis yang dibayai dari eksploitasi terhadap Negara jajahannya. Tentu saja bertentangan esensi nilai kemerdekaan itu sendiri.
Sekalipun Belanda telah menerapkan politik etis, namun tulisan Suwardi yang mengkritisi Belanda tetap saja dianggap membahayakan dan menyakitkan hati penguasa Kolonial Belanda. Sehingga oleh karenanya Suwardi diasingkan ke Belanda bertiga bersama Tjipto Mangunkusumo dan Ernest Douwes Dekker sebagai sesama tokoh dari Indische Partij.
Sesungguhnya Pemerintah Hindia Belanda sejak penerapan Politik Etis, sudah cukup serius dalam memperhatikan pendidikan di Indonesia, namun terdapat dua aliran model pendekatan pendidikan yang dijakan. Pada satu sisi Snouck Hurgonje dan J.H. Abendanon lebih memilih pendekatan pendidikan yang elitis dengan pendidikan bergaya Eropa dengan Bahasa pengantar Bahasa Belanda, sedangkan Gubernur Jendral Idenburg lebih menekankan pada pendidikan rakyat dengan Bahasa pengantar Bahasa daerah. Hurgronje dan Abendanon ingin agar para elite yang dididik Belanda mengikuti pola pikir dan budaya Belanda serta bisa berterimakasih pada Belanda, sedangkan Idenburg lebih pragmatis bahwa pendidikan rakyat lebih murah biayanya dan membuat rakyat bisa lebih cepat sejahtera tanpa banyak intervensi dari pemerintah Hindia Belanda.
Di bahwah Abendanon dikuatkan sekolah OSVIA (Opleidingscholen voor Indlandsche Ambtenaren) sekolah untuk calon pejabat / ambtenar pribumi dan STOVIA (School Toot Opleiding van Indlansche Artsen) sekolah Kedokteran bagi Pribumi, dimana sekolah-sekolah tersebut tidak lagi hanya diperuntukkan bagi golongan bangsawan pribumi. Banyak tokoh pergerakan Indonesia yang merupakan alumni dari OSVIA dan STOVIA. Tirtoadisuryo dan H.O.S Tjokromaninoto adalah lulusan OSVIA, sedangkan Tjipto Mangunkusomo adalah lulusan STOVIA, termasuk Ki Hajar Dewantoro meskipun tidak selesai.
Dalam catatan sejarah dituliskan bahwa Tjipto Mangunkusumo kemudian memilih jalan radikal dalam memperjuangkan rakyat Indonesia, sedangkan Ki Hajar Dewantoro sepulang dari Belanda malah lebih memilih jalan moderat dengan lebih menekankan pada perjuangan kebudayaan ketimbang perjuangan politik. Pendidikan Taman Siswa yang menekankan pada Budi Pekerti menjadi buah perenungan pejalanan perjuangan Ki Hajar Dewantara.
Kembali pada Adam Muller yang hidup dari tahun 1779 – 1829, sesungguhnya hidup pada zaman yang sama dengan Filsuf yang sangat terkenal yaitu Georg Wilhelm Friedrich Hegel yang hidup dari tahun 1770 – 1831. Hegel dikenal dengan Dialektikanya, dengan absolute idee-nya. Dialektika disebutnya sebagai “gerak pikiran, dimana seolah-olah tercerai itu, disebabkan sifatnya sendiri, saling memasuki satu sama lainnya, dan dengan begitu membatalkan perceraian itu” (Hegel dalam Tan Malaka 199: 128). Tan Malaka mencoba menjelaskan pemikiran Hegel dengan contoh tentang “Adil” dan “Dzalim”. Dikatakannya bahwa adanya “Adil” itu karena ada yang”Dzalim”. Pergolakan pemikiran tentang Adil vs Dzalim ini ada dalam pikiran kita, kemudian lantas melahirkan sintesa diantara kedua yang saling bertentangan ini, misalnya dengan konsep baru tentang “kemakmuran bersama”.
Romantisme Negara dari Adam Muller jelas sulit diterima oleh bangsa Indonesia (Kaum terpelajar Hindia Belanda) pada saat itu, karena yang sedang dihadapi bangsa Indonesia adalah hubungan sosial politik dan kebudayaan yang asimetris antara penjajah dan yang dijajah. Bagaimana hendak membuktikan bahwa pemerintah Kolonial Belanda akan menjadi “keluarga” dari bangsa / rakyat Indonesia? Sedangkan yang tampak adalah sikap ekslploitatif bangsa Belanda, belum lagi warga asli Hindia Belanda tidak disetarakan dengan warga Belanda. Maka dari itu untuk mendapatkan pemerintahan yang merupakan “perluasan keluarga” dari rakyat / manusia-manusia Indonesia hanya bisa dibentuk dengan memiliki pemerintahan sendiri, yaitu pemerintahan yang berdaulat dan mandiri dan bukan pemerintah yang berbau kolonial.
Politik Etis Belanda dan moderasi sikap Ki Hajar Dewantoro, ternyata dalam alam praksisnya tidak menghasilkan titik temu seperti keinginan Belanda, yaitu agar kaum elit Indonesia yang dididik Belanda merasa berhutang budi kepada Belanda dan mau tetap loyal pada Belanda. Apakah situasi ini terjadi juga pada bangsa Timor Leste ketika masih menjadi warga Provinsi Timor Timur? (menarik untuk dikaji).
Hegel menjelaskan peristiwa ini dengan lebih mudah, bahwa “Adil” vs “Dzalim” dalam ide-ide kaum intelektual / terpelajar Indonesia saat itu akhirnya menjadi bahan-bahan untuk mengkonsepsikan sebuah Negara merdeka di kelak kemudian hari sebagaimana dikenal sekarang sebagai tujuan Negara dalam Alinea IV Undang-undang Dasar Negara 1945, yaitu Negara yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah dan mensejahterakan rakyatnya.
Dalam sejarah harus diakui bahwa pemikiran Hegel, yang mungkin juga telah mewarnai sikap perjuangan Ki Hajar Dewantoro dengan perjuangan lewat pendidikan dari Budi Utomo, hingga Taman Siswa dan kemudian disisi lain pikiran Engels dan Marx yang diadopsi Syarikat Dagang Islam serta Syarekat Islam melalui Samanhudi, Tirtoadisuryo, H.O.S Tjokroaminito, hingga era-era berikutnya telah mengkristal menjadikan tujuan pergerakan bangsa Indonesia menjadi Negara yang terpisah dari Hindia Belanda.
Barangkali saja, para penganut Politik Etis Belanda dan pengikut-pengikutnya, bila masih hidup, ada yang menyumpahi mengapa ketika Belanda menjalankan Politik Etis dulu tidak mengikuti saja saran Adam Muller, sehingga Belanda dan Indonesia menjadi satu keluarga, seperti Negara-negara commonwealth? Mengapa nenek moyang Belanda itu tetap rakus dan arogan sehingga tetap mempertahankan hubungan sosial, politik sub-ordinasi? Mungkin saja generasi muda Belanda sekarang ada yang menyesali sikap nenek moyang mereka. Mungkinkah mereka cuek-cuek saja dan menganggap sejarah itu tak pernah ada?
Namun di sisi lain di Indonesia, terlepas dari Soepomo sangat yakin tentang Negara Intergralistik Indonesia sebagaimana telah Muller konsepsikan, namun justru di Orde Baru dimana konsepsi ini digaung-gaungkan itu justru rakyat tidak merasakan menjadi bagian dari keluarga pemerintahnya. Pergulatan / dialektika pemikiran “Adil” vs “Dzalim” ala Hegel, dan bahkan dibumbui pertentangan kelas elit penguasa (militer, birokrat, teknokrasi dan pengusaha) pada satu sisi, berhadapan dengan Kelas rakyat yang dimotori Kelompok pro demokrasi (Intelektual, LSM, Mahasiswa dan Tokoh Politik Alternatif) menggoalkan sebuah Gerakan Reformasi.
Ki Hajar Dewantara, Bapak pendidikan kita telah memungkinkan kita mengarungi / menjelajahi khazanah ilmu pengetahuan, hingga kita barangkali sudah atau akan sampai pada suatu situasi yang menurut seorang Filsuf dikatakan: “Semakin kalian memahami (ilmu pengetahuan), maka kalian akan semakin memaafkan (keadaan)”