Menjemput Takdir Sebagai Jenderal Besar

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mendapat pangkat Jenderal TNI Kehormatan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) TNI dan Polri Tahun 2024 di Mabes TNI Rabu (28/02/24) Cilangkap, Jakarta Timur.

Jakarta, B-Oneindonesia – Kemarin, Prabowo telah sampai pada takdirnya sebagai jenderal berbintang empat. Setelah nanti dilantik menjadi Presiden RI ke-8, tantangan Prabowo ke depan adalah merebut takdirnya sebagai “Jenderal Besar”.

Jenderal Besar, berbintang lima, adalah pangkat kehormatan militer yang digagas Prabowo sewaktu ia menjabat sebagai Danjen Kopassus. Di Indonesia, sejauh ini pangkat tersebut hanya disandang oleh tiga figur militer legendaris, yaitu Sudirman, Abdul Haris Nasution dan Soeharto.

Sejak Prabowo diangkat sebagai Menhan, lebih dua kali saya mendengar kabar Presiden Jokowi akan menaikan pangkat Prabowo sebagai jenderal penuh, tapi selalu ditolak oleh Prabowo. Mungkin, karena kali ini yang mengusulkan adalah Mabes TNI, ia tak sanggup lagi untuk menolak.

Menyandang pangkat jenderal berbintang empat adalah impian setiap perwira muda begitu dia lulus dari akademi militer. Terlepas bahwa pangkat tersebut diraihnya ketika dia sudah pensiun dari dinas aktif, promosi kepangkatan Prabowo menjadi “jenderal kehormatan” sebenarnya lebih mirip dengan proses kenaikan pangkat luar biasa.

Jika yang sudah-sudah upacara kenaikan pangkat jenderal kehormatan diselenggarakan di Istana Negara, maka penyematan pangkat untuk Prabowo dilaksanakan di Mabes TNI dan menjadi puncak acara Rapim TNI-Polri 2024.

Ada makna yang berbeda. Yang terdahulu maknanya lebih sebagai “anugrah” dari Presiden kepada seorang figur militer yang menjadi menteri atau pejabat setingkat menteri di dalam kabinetnya. Sedangkan terhadap Prabowo melalui proses rapat Wanjakti TNI (Panglima TNI dan semua Kastaf) dan kemudian diusulkan kepada Presiden. Kemudian ditindaklanjuti oleh Presiden Jokowi melalui sebuah Keppres.

Prabowo, diluar karir bisnis dan politiknya, jelas adalah salah satu figur militer luar biasa yang pernah ada di Indonesia. Seingat saya, waktu masih sering meliput dunia militer, dan ngobrol-ngobrol dengan anak buahnya, Prabowo pernah tiga kali mendapat kenaikan pangkat luar biasa atau naik setingkat lebih cepat dari pada waktunya.

Pertama tahun 1978, ketika berhasil menangkap Panglima Falintil, Nicolau Lobato di medan operasi Timor-Timur. Kedua, tahun 1990, ketika Batalion 328 Kostrad yg dipimpinnya menjadi Batalion terbaik di medan operasi Tim-Tim. Dan yang ketiga, tahun 1996, setelah Prabowo – sebagai Danjen Kopassus – berhasil memimpin operasi Pembebasan Sandera OPM di Mapenduma, Papua.

Di dunia militer, kenaikan pangkat luar biasa diberikan kepada prajurit atau perwira yang menunjukan kualitas keberanian dan kepahlawanan yang luar biasa : “Uncommon Valour”. Kenaikan pangkat luar biasa juga sering diberikan kepada anggota militer yang menunjukan sikap kepemimpinan dan pengorbanan luar biasa kepada korps atau negaranya.

Kalau dipikir-pikir, dengan melihat sikap kepahlawan dan pengorbanan Prabowo selama lebih dua dekade terakhir, sebenarnya ia kemarin-kemarin sudah dapat empat bintang. Suatu hari nanti – misalnya dia menunjukan prestasi yang luar biasa sebagai Presiden atau Panglima Tertinggi Angkatan Perang (APRI) – Prabowo bisa saja dipromisikan lagi oleh TNI untuk mendapatkan pangkat kehormatan lebih tinggi dari sekarang.

Prabowo, jika tidak ada kerusuhan Mei 1998, sebenarnya tinggal selangkah lagi menjadi jenderal bintang empat. Sialnya, peristiwa itu mengakibatkan posisi Prabowo – sebagai menantu Presiden Soeharto- ikut tersudut. Tak perlu saya ceritakan detil di sini, yang pasti setelah Pak Harto lengser, Prabowo yang saat itu sudah berbintang tiga dicopot sebagai Pangkostrad.

Pada momen itulah sebenarnya terlihat sikap pengorbanan Prabowo yang begitu besar untuk bangsanya, terlebih kepada TNI.

Saya cukup dalam meliput krisis politik saat itu. Saya lihat dan merasakan sendiri, Prabowo punya kharisma kuat terhadap prajurit di satuan-satuan tempur Angkatan Darat. Di atas kertas, seandainya waktu itu Prabowo tidak mau hadir hadir ke Mabes TNI-AD – untuk menolak tawaran jabatan baru sebagai Dankodiklat AD dan memilih pensiun dini – sebetulnya Panglima TNI dan Kasad juga tidak bisa berbuat banyak. Karena praktis waktu itu memang tidak ada kekuatan yang bisa memaksa atau menyeret Prabowo untuk datang Mabes TNI-AD, kalau bukan atas sikap kepatuhan Prabowo sendiri terhadap pimpinan.

Pada hari-hari kritis itu, pasukan Kostrad dan Kopassus terlihat jelas sudah “stealing” di beberapa titik sekitar Jakarta dengan persenjataan tempur lengkap, termasuk kendaraan lapis baja, menunggu perintah dari Prabowo setiap saat.

Coba, seandainya saja waktu itu Prabowo melawan dengan menolak panggilan atau justru memerintahkan pasukannya merebut Mabes TNI dan Mabes AD, sudah pasti Prabowo bisa menguasai keadaan. Ini kalkulasi saya dan waktu itu saya yakin Prabowo, kalau mau melancarkan kudeta kepada Presiden Habibie, pasti bisa. Meski sudah tentu ada pertumpahan darah sebagai konsekwensi akibat perlawanan dari pasukan lain yang loyal kepada Panglima TNI atau Kasad, tapi pada akhirnya Prabowa pasti yang akan merebut kendali.

Di luar itu, massa pendukung Pak Harto dari berbagai ormas juga sudah terkonsentrasi di beberapa titik di Jakarta dan tinggal menunggu perintah untuk merebut gedung MPR yang sudah dikuasai massa pimpinan Amin Rais.

Mencegah pertumpahan darah itulah yang menurut saya menjadi pertimbangan utama Prabowo untuk “mengalah” dan membunuh ego pribadinya demi keutuhan TNI dan keselamatan negaranya dari ancaman perang saudara.

Tapi justru akibat pengorbanan itulah Prabowo akhirnya dicopot dari jabatannya dan memaksanya mengubur impian menjadi jenderal bintang empat waktu itu.

Pengorbanan besar dengan sikap “mengalah” dari Prabowo muncul lagi pada Kerusuhan di Bawaslu, Mei 2019. Waktu itu, saya juga meliput detik demi detik kerusuhan massal di seputaran perempatan Sarinah Thamrin.

Kerusuahan ini sangat mencekam. Bentrokan antara pasukan Brimob dan massa pendukung Prabowo berlangsung berjam-jam, berlarut-larut sampai melewati tengah malam, sementara saya lihat pasukan TNI yang terkonsentrasi di Bundaran HI dan Monas cuma “wait and see”, tidak jelas karena netral atau karena menunggu sesuatu.

Semakin larut malam keadaan semakin tak terkendali karena bantuan di pihak massa semakin banyak berdatangan dengan segala senjata tajam dan botol-botol molotov.

Di sisi lain, pasukan Brimob mulai kelelahan dan frustrasi melihat stamina perlawanan massa yang didominasi anak remaja itu. Perkiraan saya waktu itu, jika kerusuhan ini terus berlangsung sampai pagi, bisa terjadi “bakar-bakaran” lagi seperti peristiwa Mei 1998.

Pada titik kritis, sekitar pukul 1 malam, Prabowo keluar dari rumah posko pemenangan di Cut Meutia Menteng. Saya menyaksikan sendiri dan mengambil video ketika Prabowo nampak dari atas kap mobilnya memerintahkan ribuan massa untuk pulang. Massa berteriak-teriak agar Prabowo bergerak maju ke arah Sarinah, titik pusat bentrokan berjarak sekitar 500 meter (dan sudah dipenuhi massa). Tapi Prabowo tetap memerintahkan massa agar pulang.

Sejam kemudian, kerusuhan di seputar Kantor Bawaslu mulai mereda. Massa dan pasukan Brimob di garis terdepan yang telah berjam-jam saling merangksek, sama-sama mundur. Jam 3, saat makan sahur tiba, praktis kerusuhan di tengah bulan Ramadan itu sudah padam.

Bayangkan jika pada waktu itu Prabowo memutuskan ikut bergerak dengan massa ke arah Sarinah Thamrin. Mungkin Prabowo tewas atau terluka. Tapi mungkin juga Prabowo menang. Karena situasi waktu itu begitu kalut, massa tidak mau mundur dan di pihak aparat negara tidak jelas siapa lawan dan kawan.

Prabowo saat itu “mengalah” dalam perjuangan politiknya merebut kursi Presiden RI. Belakangan Prabowo memutuskan berkoalisi dengan Jokowi. Banyak pendukungnya yang murka dan menganggap Prabowo telah berkhianat dan melupakan jasa-jasa korban yang berjatuhan akibat membela dirinya dalam petarungan merebut kursi Presiden waktu itu.

Tapi apa mau dikata lagi. Prabowo telah mengorbankan harga dirinya demi keselamatan negaranya. Faktanya pendukung Jokowi dan Prabowo sama-sama banyak. Jika Prabowo waktu itu tidak mau mengalah dan melanjutkan sikap berlawanan dengan Jokowi, sudah pasti eskalasi dari perpecahan politik antara kubu “Cebong dan Kampet” kala itu akan terus meningkat dan bisa menjadi menjadi krisis politik yang tak jelas kesudahannya.

Sekarang, Prabowo tinggal menunggu pengumuman resmi pemenang Pilpres 2024 dari KPU. Dengan sikap kepahlawanan dan pengorbanannya selama ini, sebenarnya Prabowo bukan bukan hanya sedang melangkah menuju takdirnya sebagai Presiden RI, tapi juga sebagai “Jenderal Besar”.

By Tony Hasyim, Wartawan Senior Forum Keadilan

Jakarta, 29 Februari 2024

 

Komentar