Lemahnya Oposisi & Budaya Harmoni di Indonesia

Oleh:  ULIL ABSHAR-ABDALLA

Jakarta, B-Oneindonesia – Kenapa presiden-presiden Indonesia pascareformasi memiliki tendensi ke arah ”koalisi besar” dengan cara merangkul sebanyak mungkin partai dan membatasi seminimal mungkin kekuatan oposisi?

Apakah ini kecenderungan yang umum di semua negara atau khas Indonesia? Dari mana asal-usul insting politik ”koalisi besar” semacam ini? Apakah ada kaitannya dengan budaya politik yang khas Indonesia? Ataukah ini berkaitan dengan hasrat ”pragmatis” setiap penguasa di mana pun yang menghendaki kekuasaan yang solid dan efektif? Ataukah penyebabnya lebih mendalam dan struktural, yaitu rancang bangun kelembagaan politik kita pascareformasi?

Tendensi ingin membangun koalisi besar semacam itu tampaknya juga kita lihat pada sosok Prabowo Subianto, presiden terpilih yang baru saja disahkan kemenangannya oleh Mahkamah Konstitusi pada Senin (22/4/2024) dan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada Rabu (24/4/2024).

Meskipun kita belum bisa memastikan secara definitif, naga-naganya Prabowo akan menempuh jalan serupa, yaitu membangun ”tenda besar politik” di parlemen. Sejak menang dalam pilpres, 14 Februari lalu, Prabowo sudah menampakkan gestur politik untuk mengajak semua pihak masuk dalam pemerintahan yang akan ia pimpin nanti. Ia, secara proaktif, ”sowan” dan mendatangi tokoh-tokoh dan pihak-pihak yang selama ini ada di seberang.

Yang terakhir, ia mendatangi Muhaimin Iskandar, Ketua Umum DPP PKB, sekaligus cawapres dan kandidat yang menjadi lawan tandingnya dalam pilpres lalu.

Di sisi lain, kecenderungan semacam ini, oleh kalangan masyarakat sipil, dipandang sebagai gejala yang tidak sehat dalam kerangka penguatan dan konsolidasi demokrasi. Bagi kalangan sipil ini, demokrasi yang sehat meniscayakan adanya kekuatan oposisi yang signifikan, baik di dalam maupun di luar parlemen. Secara pribadi, saya juga berada dalam barisan orang-orang yang memiliki wawasan politik seperti ini.

Dulu, di zaman Orde Baru, ada diskusi cukup hangat tentang budaya politik yang mencirikan pemerintahan yang otoriter saat itu. Salah satu penjelasan yang dipakai untuk menerangkan kokohnya kekuasaan Presiden Soeharto pada zaman itu adalah budaya harmoni yang mencirikan masyarakat Jawa. Budaya ini cenderung menghindari konflik dan mengusahakan adanya musyawarah, konsensus, kesepakatan bersama, dan gotong royong. Kebijakan-kebijakan Soeharto yang menekankan konsensus dan ”memusuhi” oposisi politik pada saat itu dijelaskan melalui genesis kultural semacam ini.

Yang menarik, setelah reformasi, penjelasan budaya semacam ini hampir hilang sama sekali. Pudarnya mazhab budaya dalam telaah politik kita saat ini amat bisa dipahami. Sejak reformasi, terjadi perubahan yang begitu cepat dalam lanskap politik Indonesia. Penjelasan budaya kehilangan ”keampuhan teoretis” (theoretical efficacy)-nya untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang cepat. Tampaknya penjelasan budaya ini hanya pas dalam konteks politik yang stagnan seperti di era Orde Baru dulu.

Namun, apakah benar penjelasan budaya sudah kurang relevan lagi? Seorang kawan pernah melontarkan pertanyaan berikut ini: Kenapa jarang terjadi polemik yang serius di Indonesia? Kenapa setiap perbantahan, baik teoretis maupun nonteoretis, di negeri ini ujung-ujungnya selalu diselesaikan cepat-cepat dengan ”jalan tengah”? Kenapa masyarakat kita seperti takut mengadu gagasan hingga sejauh-jauhnya? Kenapa setiap perdebatan seperti hendak lekas diselesaikan? Khawatir mengganggu keamanan dan ketenangan sosial?

Kawan saya ini mencoba menjawab dengan sebuah spekulasi: boleh jadi masalahnya adalah soal budaya. Budaya yang dominan di negeri ini adalah harmoni, bukan dialektika. Dalam budaya harmoni, tekanan cenderung diarahkan pada konsensus, bukan konflik.

Spekulasi semacam itu tampaknya masuk akal meskipun agak susah dibuktikan. Kelemahan penjelasan budaya ialah kecenderungannya yang ”sembarang” (arbitrary), selektif, serta esensialistik. Meskipun demikian, penjelasan budaya tetap memiliki daya pikat yang kuat. Pertanyaannya: apakah kecenderungan presiden-presiden kita pascareformasi untuk membangun koalisi politik besar ada kaitannya dengan budaya harmoni ini? Atau penjelasannya ada di tempat lain?

Yang jelas, kita tidak bisa mengabaikan penjelasan budaya. Saya kira, meski tidak memadai, tendensi ”koalisi besar” dan hasrat membangun politik ”jalan tengah” yang dominan di Indonesia selama ini untuk sebagian bisa diterangkan melalui penjelasan budaya.

Penjelasan lain yang tak kalah penting adalah adanya tantangan besar yang dihadapi Presiden Indonesia pascareformasi, membangun kekuasaan yang efektif untuk memastikan pembangunan berjalan.

Kombinasi antara sistem presidensial dan rancang bangun kepartaian multipartai membawa tantangan yang tidak mudah bagi penguasa-penguasa Indonesia pascareformasi. Bagaimana membangun pemerintahan yang stabil dan efektif? Bagaimana pemerintahan yang efektif dan kuat ini bisa dicapai tanpa pula mengorbankan imperatif demokrasi?

Jelas ini bukan tantangan yang ringan. Di satu pihak, demokrasi sudah menjadi ”jalan ninja” bangsa Indonesia, di pihak lain kemakmuran juga harus diusahakan melalui pembangunan. Pilihannya bukan ”atau ini/atau itu”, melainkan keduanya.

Komentar