Ketua DPD RI Prihatin Presidential Threshold Kebiri Kedaulatan Rakyat & Rugikan Partai Kecil

Ketua DPD RI saat menjadi keynote speaker FGD di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (5/6/2021).

YOGYAKARTA,B-ONEINDONESIA – Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti kembali berbicara pentingnya Amandemen ke-5 UUD 1945. Kali ini, LaNyalla menyampaikan hal tersebut saat menjadi keynote speaker dalam Focus Group Discussion (FGD) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Sabtu (5/6/2021). Tema yang diangkat adalah “Presidential Threshold Antara Manfaat dan Mudarat”

Menurut LaNyalla, perjalanan amandemen pertama hingga keempat yang terjadi dari tahun 1999 hingga 2002, berbuntut negatif terhadap kedaulatan rakyat.

“Saya menggulirkan wacana Amandemen ke-5, sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan Bangsa. Sehingga kita harus mendorong MPR RI untuk bersidang dengan agenda Amandemen, tetapi dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi dan perbaikan atas Amandemen,” tutur LaNyalla.

Menurutnya, banyak frasa kalimat dan norma yang harus dikoreksi dari hasil amandemen konstitusi terakhir. Sebab akibat amandemen tersebut, lahirlah sejumlah undang-undang yang merugikan bangsa.

Salah satunya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur soal ambang batas calon presiden-wakil presiden atau presidential threshold. LaNyalla menilai aturan tersebut mengebiri kedaulatan rakyat, dengan membatasi calon-calon pemimpin terbaik untuk mendapat hak yang sama untuk bisa tampil di pemilihan umum.

LaNyalla memaparkan argumentasi terkait hal tersebut. “UUD hasil Amandemen di Pasal 6 Ayat (2) menyebutkan syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang,” ujarnya.

Kemudian di Pasal 6A Ayat (2) menyebutkan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

“Nah, perintah membuat syarat-syarat melalui Undang-Undang di Pasal 6 Ayat (2) dan Frasa kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’ yang tertuang di Pasal 6A ayat (2) menyebabkan lahirnya Undang-Undang tentang Pemilu, yang memberi syarat ambang batas atau Presidential Threshold dan memberikan kewenangan kepada partai politik peserta pemilu sebelumnya atau periode yang lalu untuk mengajukan usulan calon presiden dan wakil presiden,” paparnya.

Padahal menurut para pelaku Amandemen, kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’ hasil Amandemen itu normanya adalah partai politik peserta pemilu saat itu. Artinya partai politik yang telah lulus verifikasi sebagai peserta pemilu ketika itu.

Disebutkan juga, frasa kalimat ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’ bermakna pasangan capres-cawapres sudah diajukan partai politik sebelum pilpres dilaksanakan. Karena pilpres dilaksanakan melalui pemilihan umum, maka di amandemen dituliskan dengan frasa tersebut.

“Dan frasa tersebut juga mengandung norma bahwa Pileg dan Pilpres tidak dilakukan serentak. Kalau pun dilakukan serentak, tetap saja, pengajuan nama capres dan cawapres dilakukan oleh partai politik peserta pemilu tahun itu juga yaitu partai politik yang sudah dinyatakan lulus verifikasi oleh KPU sebagai peserta pemilu, bukan partai politik periode Pemilu sebelumnya, atau partai politik lima tahun sebelumnya,” kata LaNyalla.

Atas dasar hal tersebut, Senator asal Jawa Timur ini menilai menjadi sangat tidak logis bila pasangan capres-cawapres di Pilpres 2019 diajukan oleh partai politik peserta pemilu di tahun 2014.

Begitu juga dengan Pilpres di tahun 2024 nanti. Akan menjadi tidak logis apabila pasangan capres-cawapres diajukan oleh Partai Politik peserta pemilu tahun 2019.

“Pertanyaannya bagaimana dengan partai politik di tahun 2019, yang sudah tidak berada di parlemen? Atau seandainya ada partai politik yang sudah bubar. Berarti masih bisa mengusung capres dan cawapres,” ujarnya.

“Atau sebaliknya, bagaimana dengan partai baru yang lahir dan lulus verikasi sebagai peserta pemilu di tahun 2024 nanti? Tentu tidak bisa mengusung capres dan cawapres. Padahal dikatakan capres dan cawapres diajukan atau diusung oleh partai politik dan atau gabungan partai politik peserta pemilu,” tambah LaNyalla.

Sementara itu produk UU Pemilu mengeluarkan syarat pasangan calon di Pilpres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Aturan tersebut tertuang dalam pasal 222.

“Padahal di Pasal 6A Ayat (2) UUD hasil Amandemen, kalimatnya adalah ‘sebelum pelaksanaan pemilihan umum’, bukan ‘Pemilu anggota DPR sebelumnya’ karena dua kalimat itu jelas berbeda artinya,” ucapnya.

LaNyalla pun mempersoalkan penambahan substansi syarat perolehan suara sah partai politik untuk bisa mengusung pasangan capres-cawapres. Aturan itu didalilkan atas perintah UUD hasil Amandemen pasal 6 Ayat (2) yang menyebutkan ‘syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang’.

“Ini persoalan yang menyebabkan kedaulatan rakyat dikebiri, dengan membatasi calon-calon pemimpin terbaik untuk mendapat hak yang sama untuk bisa tampil di gelanggang,” ujar LaNyalla.

Tak hanya itu, LaNyalla menilai presidential threshold memiliki dampak negatif lainnya di tengah-tengah masyarakat. Terbukti saat Pilpres 2019 muncul dua kubu yang menimbulkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput pasangan calon.

“Polarisasi ini bahkan tak kunjung mereda, meski elit telah rekonsiliasi. Akibatnya, dengung kebencian merajalela. Dan itu masih kita rasakan hingga detik ini,” tuturnya.

Amandemen ke-4 UUD 1945 juga menyebabkan calon presiden dan calon wakil presiden non-partisan tidak bisa berlaga di Pilpres. Setelah dihapuskannya utusan golongan dan diubahnya utusan daerah menjadi DPD sehingga hanya perwakilan dari partai politik yang bisa mengusung calon.

“Padahal DPD ini jelmaan dari utusan daerah. Tapi kewenangannya untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden ikut dihilangkan, dan ini merugikan putra putri terbaik bangsa dari luar partai politik untuk maju sebagai calon di Pilpres. Maka ini yang sedang kami perjuangkan, agar DPD bisa menjadi sarana bagi calon-calon non-partisan maju sebagai capres maupun cawapres,” tegas LaNyalla.

FGD yang dilaksanakan secara offline dan online via zoom, dihadiri Rektor UMY, Dr Ir Gunawan Budiyanto MP IPM. Hadir sebagai pembicara adalah Zainal Arifin Mochtar (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada), Ridho Al-Hamdi (dosen ilmu pemerintahan UMY) dan Iwan Satriawan SH MCL PhD (dosen fakultas hukum UMY).

Rugikan Partai Kecil, LaNyalla Sampaikan 4 Implikasi Presidential Threshold 

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, mengupas dampak dari Presidential Threshold yang merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. UU Pemilu sendiri merupakan buah dari amandemen UUD 1945 terdahulu.

Menurutnya, amandemen konstitusi dari tahun 1999 hingga 2002 menjadi dasar lahirnya undang-undang yang menjadikan wajah Indonesia seperti hari ini.

Beberapa senator turut mendampingi Ketua DPD RI. Antara lain Fachrul Razi (Ketua Komite I), Sylviana Murni (Ketua Komite III) Bustami Zainuddin (Wakil Ketua II), Evi Apita Maya (Wakil Ketua Komite III), Bambang Sutrisno (senator Jawa Tengah yang juga Ketua BAP DPD), Bambang Santoso (senator Provinsi Bali) dan senator Yogyakarta M Afnan Hadikusumo.

LaNyalla mengajak seluruh masyarakat untuk jujur menjawab dengan hati nurani, apakah arah perjalanan bangsa Indonesia semakin menuju kepada apa yang dicita-cita oleh founding fathers bangsa ini atau semakin menjauh?

“Karena itulah, kenapa saya menggulirkan wacana Amandemen ke-5, sebagai momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan Bangsa. Sehingga kita harus mendorong MPR RI untuk bersidang dengan agenda Amandemen, tetapi dengan suasana kebatinan untuk melakukan koreksi dan perbaikan atas Amandemen yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002,” katanya.

Dikatakan LaNyalla, setidaknya ada empat implikasi dari Presidential Threshold. Pertama adalah bagaimana pemilihan presiden (Pilpres) hanya akan memunculkan dua pasangan calon yang head to head.

Presidential Threshold atau ambang batas capres merupakan syarat pasangan calon di Pilpres di mana pasangan calon harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Keadaan tersebut mempersempit kemungkinan lahirnya lebih dari 3 pasangan capres-cawapres.

“Meskipun di atas kertas didalilkan bisa memunculkan tiga hingga empat pasang calon. Tetapi tidak begitu dalam prakteknya. Buktinya, dalam pemilu yang lalu-lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon,” tutur LaNyalla.

Dampak dengan hanya ada 2 pasangan calon adalah Pilpres menyebabkan pembelahan politik dan polarisasi yang begitu kuat di akar rumput.

“Kondisi itu masih dirasakan hingga detik ini, meski sudah ada rekonsiliasi. Tentu sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini,” katanya.

Menurut LaNyalla, implikasi kedua dari Presidential Threshold adalah menghambat putra-putri terbaik bangsa yang hendak maju di Pilpres, tanpa naungan partai politik.

“Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin yang terbaik,” ucap LaNyalla.

Kemudian implikasi ketiga adalah bagaimana Presidential Threshold berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Dikatakan LaNyalla, pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih.

“Peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi, karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju. Sehingga kedaulatan rakyat melemah digerus kedaulatan partai yang semakin menguat,” urainya.

Lalu implikasi keempat dari Presidential Threshold yakni tak berdayanya partai kecil di hadapan partai besar mengenai pasangan calon yang akan diusung bersama. Padahal, kata LaNyalla, partai politik seharusnya didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional.

“Tetapi dengan aturan ambang batas presiden itu, maka peluang kader partai politik untuk tampil menjadi tertutup. Karena hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres,” jelasnya.

Dari sejumlah argumentasi tersebut, LaNyalla menganggap aturan Presidential Threshold sebenarnya lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Apalagi dalil bahwa Presidential Threshold disebut untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, dianggap justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.

“Karena partai politik besar dan gabungan menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu. Bukan di hilir,” ujar LaNyalla.

Terkait Presidential Treshold, Rektor UMY, Gunawan Budiyanto mengatakan bahwa hal tersebut tergantung dilihat dari aspek mana. Jika dilihat dari sisi kekuasaan tentu bermanfaat. Karena sebagai sarana untuk menguasai kepentingan sebagai penguasa.

“Kalau dari sisi rakyat tentunya ya dilihat sendiri. Banyak mudharatnya. Sebab adanya tirani kekuasaan akan menyebabkan kepentingan rakyat tertinggal,” katanya.

Sementara itu pembicara dalam FGD, Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tatanegara UGM mengatakan Presidential Threshold hanya untuk mengkonsentrasikan kekuasaan untuk kepentingan tertentu.

“Ini tidak bisa dilepaskan dari permainan oligarki. Yang kemudian kita takutkan adalah jangan-jangan kita dimainkan oleh sistem yang oligarki yang seakan-akan bagus dan dijamin MK,” jelasnya.

Lantas kemudian apakah amandemen bisa menjawab soal Presidential Threshold? Menurut Zainal sebenarnya tidak perlu dengan amandemen.

“Sebenarnya kerja lebih mudah adalah dengan Revisi UU tentang pemilu. Diubah saja di pasal-pasalnya soal ambang batas itu. Jadi tidak perlu dengan amandemen,” jelasnya.

Lebih lanjut Zainal khawatir amandemen malah merusak sistem presidensil yang diyakini Indonesia sekarang.

“Amandemen jangan sampai merusak sistem presidensiil. Presidensiil itu yang memilih presiden adalah rakyat. Jangan sampai presiden dipilih lagi oleh MPR atau parlemen,” katanya

Iwan Satriawan, Dosen Fakultas Hukum UMY mengatakan banyak barikade-barikade yang harus dilalui dalam menggugat Presidential Threshold. Karena pasti ada pihak-pihak yang menguncinya.

“Semoga barikade itu bisa dibuka oleh DPD RI. Tapi DPD tidak bisa sendiri, harus dengan bantuan dari gerakan mahasiswa, organisasi-organisasi masyarakat atau civil society lainnnya,” jelasnya.

Iwan sepakat semua partai harus bisa mencalonkan Presiden. Tidak dikunci dengan adanya ambang batas pencalonan presiden.

“Kalau menurut saya, Presidential Threshold harus dihapuskan. Agar muncul calon-calon potensial. Perlu tekanan publik yang kuat agar parpol memikirkan kepentingan negara bukan menghamba pada oligarki,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *