Senator Papua Barat Filep Wamafma mempertanyakan Dana Bagi Hasil (DBH) Minyak dan Gas Bumi (Migas) bagi masyarakat adat Papua. Nilai DBH Migas tersebut cukup besar dengan taksiran mencapai Rp 124,84 Miliar pada tahun 2022
Jakarta, b-Oneindonesia – DPD RI Filep Wamafma mempertanyakan dana bagi hasil (DBH) perkebunan kelapa sawit bagi masyarakat adat Papua dan pemerintah daerah.
Pasalnya, daerah penghasil berhak atas DBH pajak perkebunan kelapa sawit yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
“Apakah masyarakat dan pemda di tanah Papua telah memperoleh DBH Perkebunan Kelapa Sawit? Sebagai daerah penghasil, wajib hukumnya untuk mendapatkan DBH perkebunan kelapa sawit, sebagaimana hasil minyak bumi dan gas bumi (Migas),” ujar Filep.
Dia menyebutkan bahwa UU Nomor 1 tahun 2022 pasal 111 jelas menyebutkan bahwa DBH diambil dari pajak dan sumber daya alam, dan pemerintah daerah dapat menetapkan jenis DBH lainnya yang berpotensi bagi daerah seperti perkebunan sawit.
Selain itu, Filep menerangkan, alasan lainnya adalah karena kewenangan pemberian izin ada di daerah dan daerah memerlukan dana pembinaan untuk pengelolaan usaha perkebunan sawit.
Hal itu juga, menurutnya lantaran daerah penghasil yang menanggung dampak ekologi, ekonomi, dan sosial dari aktivitas perkebunan kelapa sawit yang ada.
Pertanyaan tersebut semakin mengemuka ketika pada 10 Agustus 2022, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), mengabulkan gugatan PT Anugerah Sakti Internusa dan PT Persada Utama Agromulia, dan menyatakan batal Keputusan Bupati Sorong Selatan yang mencabut Izin Lokasi dan Izin Usaha Perkebunan Sawit dari dua perusahaan tersebut.
“Saya mau tekankan pertanyaan besar bagi kedua perusahaan itu, apakah kehadiran kedua perusahaan selama beroperasi di wilayah Sorong Selatan telah memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat di Kabupaten Sorong Selatan? Karena kalau kita buka data tingkat pengangguran masih tinggi, angka rasio gini juga tertinggi di Papua Barat, hal ini perlu menjadi perhatian serius,” ungkap Filep.
Mendukung pernyataan itu, Data BPS Papua Barat mencatat bahwa pada tahun 2019-2021, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di wilayah Sorong Raya yang merepresentasikan penduduk usia kerja belum terserap pada lapangan kerja di Kabupaten Sorong Selatan merupakan yang tertinggi setelah Kota Sorong.
Begitu pula dengan angka rasio gini, data BPS Papua Barat menunjukkan angka Kabupaten Sorong Selatan merupakan yang tertinggi dengan rerata sebesar 0.43 sejak tahun 2019 s.d 2021 antar kabupaten/kota di Papua Barat. Rasio gini ini digunakan untuk menginformasikan ketimpangan pendapatan penduduk dalam suatu wilayah.
“Apakah pemerintah daerah dan masyarakat adat telah memperoleh Dana Bagi Hasil dari pajak perkebunan kelapa sawit dari kedua perusahaan tersebut? Kalaupun belum, maka sangat disayangkan. Mengingat dampak sosial, ekonomi, dan ekologinya ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah daerah,” ujar Filep.
Selain itu, Senator Papua Barat ini menjelaskan bahwa perkebunan sawit di Papua dan Papua Barat menjadi sektor penghasil uang yang besar di daerah. Terlebih, data Kementan menunjukkan luas lahan perkebunan dan produksi kelapa sawit di Papua dan Papua Barat terus meningkat tiga tahun terakhir.
“Selain manfaat ekonomi yang relatif kecil, konsekuensi ekologi dari menurunnya daya dukung lingkungan jelas ditanggung oleh masyarakat lokal. Tentu kita tidak menginginkan adanya konflik horizontal akibat kondisi ini. Masyarakat adat Suku Afsya di Kampung Bariat, Distrik Konda, dan masyarakat adat Tehit terdampak, di Sorsel yang sejak awal tetap menolak izin perusahaan, menolak keberadaan dan rencana aktivitas perusahaan kepada sawit PT Anugerah Saksi Internusa”, jelas Filep.
Filep mengingatkan, dasar hukum pada Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menyebutkan bahwa pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin Usaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, kecuali telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya.
“Namun patut diingat, di Pasal 62 UU itu disebutkan bahwa pengembangan Perkebunan diselenggarakan secara berkelanjutan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologi. Inilah kemudian disebut dengan perkebunan yang berkelanjutan, sustainable,” jelas Filep.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, Komite I DPD RI ini menekankan posisi khusus Papua. Filep meminta Pemerintah segera membuat regulasi yang kuat dan komprehensif terkait hasil perkebunan kelapa sawit ini. Hal itu terutama memperhatikan bagi hasilnya bagi masyarakat Papua, khususnya masyarakat adat.
“Persoalan dana bagi hasil sawit ini kan persoalan dari kebijakan Pemerintah pusat. Ada keterlambatan di level regulasi terkait eksistensi dana bagi hasil untuk daerah penghasil sawit. Ini urgent supaya sebagai lex specialis, UU Otsus juga bisa mengaturnya. Kalau umbrella act atau aturan payungnya tidak ada, bagaimana kita bisa minta tanggungjawab perusahaan-perusahaan sawit soal perkebunan sawit yang berkelanjutan? Padahal di tahun 2021 misalnya, hasil produksi sawit Papua sebesar 574.681 ton, dengan rata-rata pertumbuhannya 26,83% dan Papua Barat sebesar 109.589 ton, dengan rata-rata pertumbuhannya 5,47%,” ujar Filep.