Gubernur Provinsi Jawa Tengah H. Ganjar Pranowo, S.H, M.IP bersama 17 Senator Komite lll DPD RI
Jakarta, b-Oneindoneaia – Komite III DPD RI melakukan Kunjungan Kerja ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam rangka Pengawasan atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Senin, 15/11/2021). Pertemuan dilakukan di Gedung Gradhika Bhakti Praja Kantor Gubernur Jateng, dan diikuti oleh 17 senator.
Kegiatan dihadiri dan dibuka oleh Gubernur Provinsi Jawa Tengah H. Ganjar Pranowo, S.H, M.IP. Sebagai narasumber hadir Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Provinsi, Asosiasi Rumah Sakit Daerah (ARSADA) Provinsi, dan perwakilan BPJS Kesehatan Jateng DIY.
Menjawab pertanyaan Asyera Respati, senator NTT, tentang era digital, Ganjar mengingatkan pentingnya membangun sistem kesehatan berbasis digital agar hak pasien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dapat terpenuhi. “Misal, melalui sistem dapat diketahui bahwa ada obat yang sudah tersimpan selama 7 tahun, karena tidak diresepkan dokter; pelayanan ibu hamil sejak awal masa kehamilan sehingga kematian anak dan ibunya dapat diminimalisir,” katanya.
Perwakilan BPJS, Dwika, menyatakan digitalisasi diperlukan mulai dari pendaftaran, layanan, sampai klaim. “Ke depan, semua rumah sakit harus berbasis teknologi informasi,” ujar Direktur RSUD Margono Soekarjo, Tri Kuncoro.
Menurut Ganjar, Indonesia harus memiliki sistem kedaruratan sehingga daerah siap menghadapi kondisi darurat, misal penanganan kelangkaan oksigen di awal tahun ini. Demikian juga sistem pengawasan 320 rumah sakit di Jawa Tengah ini harus baik sehingga pelayanan terhadap pasien dapat maksimal.
“Pelayanan terhadap pasien juga harus bagus seperti ramah, senyum, dan rapih. Rumah sakit pemerintah harus bagus seperti beberapa rumah sakit swasta,” tuturnya.
Menjawab pertanyaan Jihan Nurlela, senator Lampung, tentang waktu tunggu pasien bisa 4 sampai 5 jam sehingga menimbulkan antrian panjang, perwakilan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Tengah, Budi Palarto, menjelaskan, “penyebabnya adalah kelemahan dalam pencegahan orang sakit, peran Puskesmas, distribusi tenaga kesehatan, dan terakhir adalah kesejahteraan dokter”.
Menurut Wahyu dari ARSADA, “pengaturan kuota dan jadwal bisa mengatasi antrian pasien”. “Puskesmas adalah ujung tombak pelayanan masyarakat. Maka pemerintah harus fokus membenahi Puskesmas,” kata Hasan Basri, senator Kaltara,.
Sementara menurut Cholid Mahmud, senator DIY, “pencegahan orang agar tidak sakit akan mengurangi jumlah pasien rumah sakit, sehingga beban RS tidak berat. Pada akhirnya tidak akan terjadi antrian lagi”.
Antrian juga terjadi pada saat vaksin. “Vaksinasi warga membutuhkan kepercayaan dan kerjasama pusat dengan provinsi. Teknis distribusi dilakukan oleh provinsi karena mereka yang lebih memahami kondisi faktual di kabupaten dan kotanya. Jika tidak ada kepercayaan seperti ini, maka program vaksinasi bisa gagal” kata Ganjar.
Sylviana Murni, Ketua Komite III juga menyinggung soal rumah sakit di daerah kepulauan yang sulit dijangkau oleh warga dan kekurangan dokter spesialis. “Di sisi lain banyak juga warga yang tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan karena tidak memiliki biaya,” tegasnya. “Rumah sakit harus dilengkapi dengan dokter umum dan spesialis dan fasilitas kesehatan yang memadai,” tutur Evi Apita Maya, senator NTB.
Ganjar Pranowo menjelaskan bahwa semua rumah sakit di Jawa Tengah sempat kewalahan menghadapi pasien covid-19 di awal 2021. “Situasi ini dapat dilewati dengan baik karena kompetensi, komitmen, dan kinerja dokter dan tenaga kesehatan,” tuturnya.
“Komitmen pemerintah agar warga masyarakat miskin dapat mendapatkan layanan kesehatan, khususnya mereka yang miskin. Kuncinya dimulai dari pembenahan RS, Puskesmas, dan BPJS” kata Bambang Sutrisno, senator asal Jawa Tengah.
Menjawab tentang isu akreditasi daring yang disingguh senator Jihan di era pandemi saat ini, “akreditasi sistem daring memudahkan tetapi sisi buruknya bisa dimanipulasi datanya,” kata Direktur RS Muwardi Solo, Cahyono Hadi.
Dr Wahyu dari Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (ARSADA), menambahkan bahwa, “akreditasi RS sangat mahal. Sekarang akreditasi lebih mudah, di antaranya adalah dari masa 3 tahun ke 4 tahun, sudah ada enam lembaga akreditasi, sebelumnya hanya satu”.