Jakarta, b – oneindonesia –
MPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay mengatakan politik di MPR adalah politik kebangsaan bukan politik kekuasaan. Dia mengatakan pimpinan MPR yang berjumlah 10 orang merepresentasikan kebersamaan untuk membangun politik kebangsaan.
“Perbedaan antara politik kebangsaan dan politik kekuasaan terletak pada tujuannya untuk memperkuat kohesivitas sosial dan persatuan nasional. Ini mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan nasional. Tentunya, politik kebangsaan bersifat jangka panjang dan menjangkau jauh ke depan,” ujarnya, Jum’at (25/10/2019).
Dan sebaliknya kata Saleh, politik kekuasaan mengutamakan kepentingan kelompok seperti kepentingan partai politik. Sifatnya jangka pendek untuk meraih kekuasaan. Partai politik memang untuk mencari kekuasaan seperti memperebutkan posisi menteri di kabinet.
“Sedangkan MPR mengedepankan politik kebangsaan dibanding politik kekuasaan. Pimpinan MPR yang berjumlah 10 orang merepresentasikan partai politik dan DPD untuk membangun politik kebangsaan. Pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat juga contoh konkret politik kebangsaan di MPR,” dalam Dialog 4 Pilar bertema “Praktik Politik Kebangsaan”
Dikatakannya, contoh lain politik kebangsaan di MPR adalah Sidang Tahunan MPR dan Sosialisasi Empat Pilar MPR.
“Sidang tahunan MPR bernuansa etis bukan politik yaitu etika seorang pemimpin menjelaskan kepada rakyat capaian selama satu tahun. Sosialisasi empat pilar MPR juga merupakan contoh politik kebangsaan. Karena tidak ada kepentingan politik praktis dalam sosialiasi empat pilar MPR. Itu adalah konteks membuka politik kebangsaan,” ujarnya.
DPD dari Papua Barat Philip Wamahma sepakat bahwa MPR adalah wadah untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan politik secara nasional. “MPR sebagai rumah bersama dalam rangka memperjuangkan kepentingan-kepentingan warga negara,” ucapnya.
Philip melihat ada kelemahan dalam membangun politik kebangsaan yaitu pemegang kekuasaan tidak melaksanakan secara maksimal kewenangan yang diberikan.
“Jika negara ingin menerapkan politik kebangsaan maka perlu komitmen dan konsistensi para pemegang kekuasaan dalam menjalankan kewenangan dan setiap pengambilan keputusan. Perlu komitmen dan konsistensi dalam mengelola Indonesia. Kalau pemerintah hanya mengedepankan politik praktis, saya yakin dan percaya sistem politik nasional itu akan berpengaruh pada politik lokal,” katanya.
Peneliti LIPI Siti Zuhro mengatakan berbicara kebangsaan bukanlah tentang penguasa tetapi tentang pemimpin yang berpihak baik di level nasional maupun di level lokal. Keberpihakan itu terlihat ketika pemimpin mengambil keputusan.
“Ini adalah pertanyaan kebangsaan,” katanya.
Siti mengajak untuk mengevaluasi prilaku dan tutur kata elit politik. Sebab, ketika masyarakat membutuhkan role model atau teladan dari para elit, masyarakat tidak mendapatkan teladan itu.
“Kita evaluasi elite (politik) kita. Peran apa yang sedang dimainkan elite kita. Apakah para elite menjadi faktor pendorong bagi kemajuan kita berbangsa dan bernegara, atau justru menjadi faktor yang menghambat karena perilakunya,” katanya.
“Evaluasi ini juga, tidak hanya pada elit politik tetapi evaluasi terhadap infrastruktur partai politik, civil society, media dan suprastruktur politik,” ujarnya.