Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) Gelar Diskusi : Sengketa Hak Waris, Tes DNA Mutlak Tentukan Hak Perdata Anak

Jakarta, b-oneindonesia- Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Jamiyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) menggelar Focus Group Discussion dengan tema Menyelesaikan Sengketa Hak Waris di Indonesia-Tes DNA Mutlak dalam Menentukan Hak Perdata Anak.

Ketua Umum DPP JBMI Albiner Sitompul mengatakan, dalam sengketa ahli waris sering terjadi kesalahan administrasi. Sehingga efeknya juga sering terjadi sengketa ahli waris yang tak berkesudahan.

“Karena itu JBMI mencoba agar penentuan hak waris bisa ditentukan oleh tes DNA. Premisnya adalah hak perdata anak dilindungi oleh negara dan hak waris anak juga dilindungi oleh negara. Jadi tes DNA mutlak diperlukan dalam menentukan hak perdata anak,” ujar Albiner Sitompul didampingi Sekjen JBMI Arif Rahmansyah Marbun di kantor DPP JBMI, Rawamangun, Jakarta, Kamis (19/12/2019).

Dikatakan mantan Kepala Biro Pers Istana Kepresidenan di era pemerintah pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini, selain menggelar diskusi di kantor DPP JBMI, seminar tentang pentingnya tes DNA dalam menentukan hak perdata anak juga akan digelar di 3 tempat. Yakni, Universitas Islam Negeri (UIN) Riau, UIN Banten, dan UIN Yogyakarta.  

“Semoga apa yang dilakukan JBMI ini dapat bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Albiner yang juga pernah jadi ajudan Presiden BJ Habibie di era tahun 1999-2001.

Diskusi dimoderatori Alumnus UII Yogyakarta, Syarif al-Baihaqqi, menampilkan 2 pembicara. Yakni, Alumnus UIN Sumatera Utara, Medan, Harmani Sitorus Mag yang membahas Tes DNA dalam Perspektif Syariah (Hukum Islam), dan Praktisi Hukum Alumnus Universitas YARSI Jakarta, James Simanjuntak membahas Tes DNA dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia.

Harmaini Sitorus mengatakan, tema tes DNA yang dibahas dalam seminar ini bila ditinjau dari syariah hukum Islam terkait dengan dua pendekatan yakni, pendekatan fiqih dan pedekatan memelihara keturunan.

“Pendekatan fiqih, hal ini terkait tentang asal usul, kenapa perlu diungkap, apa maksud dan tujuannya. Sedangkan pendekatan pemeliharaan keturunan, hal ini terkait dengan kenapa pernikahan perlu diatur,” ujar Harmaini.
 
Harmaini katakan, “Islam itu sejatinya mampu mengikuti perkembangan zaman di mana pun dan kapan pun. “Jadi hukum Islam itu tidak statis,” ujarnya.

Terkait dengan tes DNA, kata Harmaini, adalah bagaimana dengan hak keperdataan anak. Dulu, 1400 tahun lalu jika ada masalah sengketa anak maka pendekatan hukum yang dilakukan adalah dengan metode qiyadah atau pendekatan wajah atau tubuh. Yakni melihat kemiripan wajah dan tubuh anak dengan orang tuanya.

Namun belakangan, 10 tahun terakhir ini, metode DNA booming dan menjadi metode valid dalam menentukan kepastian keturunan seorang anak. Tes DNI bisa mencapai tingkat 99,99% valid.

“Jadi kalau pada prinsipnya Islam bisa menerima perkembangan zaman maka apa tidak mungkin hukum Islam bisa menerima tes DNA sebagai metode penentuan hak waris anak,” kata Harmaini.

Praktisi Hukum James Simanjuntak mengatakan, “tes DNA mutlak dalam menentukan hak waris anak, belum ada di hukum perdata Indonesia” ujarnya.

Apakah tes DNA ini bisa dijadikan alat bukti yang sah? Menurut James, sejauh ini tes DNA belum termasuk dalam alat bukti yang sah dalam persidangan perdata oleh para Hakim,” katanya.

“DNA hanya jadi alat penunjuk atau alat bukti sekunder dan itu menjadi hak subyektif hakim. Untuk bisa membumikan tes DNA agar menjadi alat bukti maka perlu ada 1 alat bukti lagi yaitu saksi yang bisa menguatkan tes DNA,” ujarnya.

Biasanya tes DNA dilakukan, terkait ahli waris. Isu ini jadi materi diskusi menarik. “Bagaimana agar bisa menjadikan tes DNA jadi alat bukti primer. Sementara saat ini, dalam UU ITE saja bukti dokumen bisa jadi alat bukti, lalu kenapa tes DNA yang valid tidak bisa jadi alat bukti?” tegasnya.

Dikatakan James, tes DNA jadi pilihan terakhir bila ada sengketa hak hukum si anak. Jadi bisa dijadikan metode dalam menuntut hak anak kepada bapaknya atau ibunya.

“Saya setuju tes DNA ini jadi alat buktu primer, nanti hasil-hasil diskusi bisa dijadikan kajian akademis dan direkomendasikan ke Mahkamah Agung (MA). Sehingga bisa dikeluarkan aturan MA, bahwa tes DNA bisa jadi alat bukti sah,” ujarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *