Bagaimana Negara dengan Pemerintahan Tanpa Kekuatan “Checks and balances”?

Oleh: Sayuti Asyathri mantan anggota DPR RI

Jakarta, b-Oneindonesia – Selama masa Pemerintahan SBY, saya kritik habis kepemimpinannya, bahkan mengedarkan formulir di Parlemen untuk rencana mengimpeachnya, saya bangun wacana impeach atas presiden hampir sebulan di media nasional, tetapi tidak ada satupun pendukungnya yang menghadapinya dengan hujatan, apalagi dengan cara koor dalam satu barisan virtual penghujat.

Bapak Mangindaan, Ketua Komisi II waktu itu dan pimpinan Partai Demokrat, justru tidak sedikitpun mengurangi keakraban dan komunikasi dengan kawan kawan di Komisi, bahkan semakin banyak tugas dan tanggungjawab diserahkan ke saya..

Namun kini, kalau ada yang mengatakan kebijakan pemerintah salah saja, langsung diserbu dengan hujatan dan cacian oleh suatu barisan yang seperti siap menerkam dan merobek mangsa di belantara. Sesungguhnya kita sedang hidup di hutan mana yang tidak menghargai kritik dan kontrol sosial.

Padahal pada masa Soeharto yang dikenal kejam saja, mahasiswa bebas kritik, mereka dihormati dan dibanggakan sebagai calon pemimpin bangsa, dan media nasional yang dikontrol pemerintah waktu itu selalu menyelipkan pesan perlunya peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pentingnya kontrol sosial dari warga masyarakat.

Suara rakyat didengar, kalau ada kenaikan tarif jasa publik, listrik-toll-biskota dll, selalu disosialisakan dan meminta umpan balik masyarakat. Sehingga kenaikan dilakukan dengan sangat hati hati, padahal kalau mau, Soeharto miliki kemampuan untuk memaksakan keinginannya.

Di masa reformasi, priinsip partsisipasi dan kontrol sosial menjadi inti dari pesan dan semangat reformasi, ideologi Pancasila ditetapkan sebagai ideologi terbuka yang perlu memperoleh kajian dan timbangan kritis untuk keberhasilan dan keandalan dalam penerapannya. Dan reformasi digemakan agar nasib bangsa ini lebih baik dari keadaan di masa Pak Harto.

Tetapi mengapa justru keadaan menjadi buruk di masa kini, rakyat hanya menjadi objek hinaan dan kekerasan, bukan sebagai subjek dan objek pembangunan, minimal sebagaimana yang ditekankan media massa Orde baru, .

Sesungguhnya untuk siapa pembangunan itu, kalau rakyat dalam posisi kehilangan selera partisipasi dan hanya menjad objek pesakitan. Mereka hanya jadi objek tuduhan Islam radikal, taliban dan segala bentuk penyudutan, bila mereka punya sedikit saja keinginan untuk menggugah pemerintah atas nasib mereka, atau bila mereka mengeluhkan keburukan yang mereka alami akibat kebijakan yang tidak menguntungkan mereka, maka mereka siap hadapi penerapan serangan model Israel.

Siapa yang memprotes penyerobotan tanah Palestina oleh Israel maka mereka adalah Islam ektstrim, dan termasuk dalam kategori bahwa semua orang Arab dan Islam ingin membunuh semua Yahudi. Itu cara terbaik Israel untuk memuluskan penyerobotan tanah dan merusak identitas Palestina. Lantas mana itu kekuatan checks and balances yang menjadi sendi dari konstitusi dari kekuatan civil society ? Mana yang namanya the magnificient power of social control in solving national problems and crisis?

Maka wajar bila publik menyimpulkan bahwa memang pembangunan itu tidak otentik untuk rakyat, tetapi untuk selain mereka, sangat boleh jadi untuk tuan asing dan penjajah bangsa ini.

Karena itulah mengapa baja nasional kita, pabrik pabrik semen, dan sumberdaya strategis kita justru rontok di saat ribuan trilyun dana infrastruktur digelontorkan, mengapa produktivitas nasional kita merosot, kelas menengah terpelanting, pengangguran meningkat dan matinya daya kreatif anak bangsa karena belenggu sub-ordinasi dan penistaan, sementara Menkeu semakin kencang meneriakkan bahaya gagal bayar dan negara seperti sedang dilucuti martabat dan kehormatannya.

Untuk semua itu, tidak ada cara lain, kecuali harus ada tindakan tindakan besar untuk menyelematkan negeri ini, sebagai negara kita semua, bukan milik satu kelompok tertentu, apapun suku, agama, mazhab dan keyakinannya.

Komentar