MPR RI Sikapi Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa Tolak Diskriminasi Keturunan PKI Sesuai TAP I/MPR

“Jika TNI tidak berpedoman pada hukum, akan menimbulkan kekacauan kehidupan bernegara”

Jakarta, b-Oneindonesia – Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menilai sikap Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa yang menolak diskriminasi keturunan PKI untuk menjadi prajurit TNI sesuai dengan TAP I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS dan MPR Tahun 1960—2000.

“Kebijakan Panglima TNI menolak larangan anak keturunan anggota PKI sebagai calon prajurit TNI pada dasarnya selain karena tidak ada larangan dalam TAP XXV/MPRS/1966, juga dalam perkembangannya telah ada Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum TAP MPRS dan MPR Tahun 1960—2000,” kata Basarah di Jakarta, Jumat.

Hal itu dikatakannya terkait pernyataan Jenderal TNI Andika dalam sebuah rapat rekrutmen calon prajurit TNI 2022 yang mengoreksi salah satu poin persyaratan dalam rekrutmen prajurit TNI, yaitu larangan keturunan mantan anggota PKI sebagai calon prajurit TNI.

Panglima TNI menegaskan bahwa hal tersebut tidak ada dalam ketentuan hukum TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang keturunan PKI untuk memperoleh hak-hak kewarganegaraannya.

Basarah menilai TAP XXV/MPRS/1966 adalah TAP tentang pembubaran PKI, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi PKI. Selain itu, larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/marxisme-leninisme.

“Dalam TAP XXV/MPRS/1966 dimuat ketentuan pembubaran PKI, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung di bawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan NKRI bagi PKI,” ujarnya.

Dalam TAP MPRS itu, kata dia, memuat pernyataan larangan setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut.

Basarah juga menegaskan bahwa dalam Pasal 2 TAP I/MPR/2003 dinyatakan TAP XXV/MPRS/1966 tetap berlaku dengan ketentuan yaitu diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi, dan hak asasi manusia.

“Keberadaan Pasal 2 TAP I/MPR/2003 masih berlaku hingga saat ini sebagaimana dinyatakan Pasal 7 ayat (1) dan penjelasannya di UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” katanya.

Selain TAP XXV/MPRS/1966 dan TAP I/MPR/2003, kata dia, juga terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 yang bersifat final dan mengikat yang menyatakan setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain itu, menurut dia, dalam putusan tersebut juga dinyatakan suatu tanggung jawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggung-jawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige).

“Maka, menjadi suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggung jawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung,” ujarnya.

Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut dan untuk menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum, dia menilai sudah tepat Panglima TNI menyampaikan pernyataan yang menolak diskriminasi latar belakang keluarga calon prajurit TNI.

Menurut dia, Jenderal Andika sebagai Panglima TNI sangat menyadari jika TNI tidak berpedoman pada hukum, akan menimbulkan kekacauan kehidupan bernegara.

Komentar