Propaganda Hitam di Hari Tenang: Fadli Zon Ungkap Tiga Ahli Hukum Tata Negara di Dirty Vote Bagian dari Tim Mahfud MD

Jakarta, b-Oneindonesia – Tayangan Propaganda Hitam “Dirty Vote” dirilis di tengah masa tenang Pemilihan Presiden 2024 pada Minggu, (11/2/2024). Publik mempertanyakan kepentingan pembuat propaganda ini?

Biasanya, tayangan Propaganda memiliki tiga obyektif: memobilisasi khalayak sasaran ke tujuan yang diinginkan, mencapai kondisi chaos, atau ingin me-legitimasi kabar hoax.

“Dirty Vote” ini Propaganda hitam, dilakukan untuk kepentingan politik tertentu, siapa sponsor kegiatan propaganda itu? tidak jelas.

Dengan memanfaatkan aktor profesi tertentu yang memiliki afiliasi politik, mereka berupaya mempengaruhi publik agar tergerak dan memercayai dan bergerak melakukan apa yang mereka inginkan.

Propaganda ini menyesatkan, hanya menyampaikan kabar yang dipilih untuk menghasilkan pengaruh tertentu, sehingga lebih menghasilkan reaksi emosional daripada reaksi rasional.

Sesuai yang pernah dinyatakan Jozef Goebbels, Menteri Propaganda Nazi di zaman Hitler, “Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. Kebohongan yang diulang-ulang, akan membuat publik menjadi percaya”.

Film Dirty Vote yang tayang YouTube mendapatkan perhatian dari warganet dan para kubu Capres-Cawapres.

Film yang ‘dibintangi’ tiga dosen ini meyebutkan bahwa Pemilu 2024 telah berlangsung curang. Mereka menyebut bahwa Pemilu 2024 telah mencederai demokrasi.

Tiga dosen ini yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Mereka merupakan dosen sekaligus pakar hukum Tata Negara. Mereka menguliti dugaan sisi kecurangan pada Pemilu 2024.

Terutama mereka menyerang Gibran Rakabuming, Cawapres Prabowo Subianto yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi.

Gibran maju sebagai cawapres setelah perubahan aturan minimal usia Capres-Cawapres yang digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Para dosen ini juga menampilkan pernyataan Jokowi yang awalnya tak mendukung anaknya menjadi Cawapres tetapi tiba-tiba memberi dukungan.

Tak ketinggalan, pernyataan Jokowi yang menyatakan presiden berhak memihak ke salah satu paslon dan melakukan kampanye.

Namun, di balik film ini, sosok tiga dosen ini ternyata memiliki hubungan dengan Mahfud MD, yang sekarang menjadi cawapres mendampingi Ganjar Pranowo. Mereka sempat menjalin kerja sama ketika Mahfud MD menjabat sebagai Menko.

Pada 23 Mei 2023, Mahfu MD yang kala itu Menko Polhukam meresmikan tim percepatan reformasi hukum.

Dalam susunan tim ada nama-nama beken seperti Najwa Shihab, Faisal Basri, dan Eros Djarot.

Adapun agenda prioritas yang dimaksud yakni Reformasi Lembaga Peradilan dan Penegakan Hukum, Reformasi Hukum Sektor Agraria dan Sumber Daya Alam, Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Sektor Peraturan Perundang-undangan.

Tim yang terdiri dari beberapa Kelompok Kerja ini mempunyai masa kerja sejak 23 Mei 2023 hingga 31 Desember 2023.

Lalu pada posisi Kelompok Kerja Reformasi Sektor Peraturan Perundang-undangan

Ketua dijabat Susi Dwi Harijanti, Sekretaris: Asisten Deputi Koordinasi Materi Hukum Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam, Anggota: Erwin Moeslimin Singajuru Stafsus Menko Polhukam, Aminuddin Ilmar, Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, Erasmus A.T. Napitupulu, Fitriani Ahlan Sjarif, Adam Muhsi, Refki Saputra.

Fadli Zon Curiga Dibuat Tim Mahfud MD

Penasehat Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Fadli Zon menyentil toga aktor di balik film itu.

“Aktor dalam film di masa tenang rupanya Timnya Pak ⁦@mohmahfudmd⁩ ? Sebuah kebetulan yang presisi ,” tulis Fadli Zon dalam akun X, Senin, (12/2/2024).

Dia mengungkit soal Mahfud MD yang baru saja mundur dari jabatan Menko Polhukam itu sempat membentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum yang melibatkan ketiga tokoh ahli tata negara itu.

”Mahfud MD Bentuk Tim Percepatan Reformasi Hukum, Libatkan Bivitri Susanti, Feri Amsari dan Zainal Arifin Mochtar ” tambahnya.

Film Dirty Vote

Film bergenre dokumenter dengan judul Dirty Vote ramai menjadi perbincangan setelah diunggah sejak Minggu (11/2/2023).

Film ini merupakan dokumenter eksplanatori yang dibawakan oleh tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.

Ketiga ahli hukum ini menjelaskan setiap peristiwa secara rinci hingga penjelasan menurut perundang-undangan dari setiap tindakan kecurangan menuju Pemilu 2024.

Film ini diawali dengan cuplikan-cuplikan pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang awalnya menyatakan anak-anaknya belum tertarik politik, hingga deklarasi Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, yang mendampingi Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024.

Sutradara film ini Dandhy Dwi Laksono.

Ini merupakan film keempat yang disutradarainya, mengambil momentum pemilu.

Pada 2014, Dandhy lewat rumah produksi WatchDoc meluncurkan film “Ketujuh”, masa itu di mana kehadiran Jokowi dielu-elukan sebagai sosok pembawa harapan baru. Pada 2017, Dandhy menyutradarai “Jakarta Unfair” tak berapa lama menjelang Pilkada DKI Jakarta.

Dua tahun kemudian, film “Sexy Killers” tembus 20 juta penonton di masa tenang Pemilu 2019.

“Sexy Killers” membongkar jaringan oligarki bercokol pada kedua pasangan calon yang berlaga saat itu, Jokowi-Ma’ruf Amin versus Prabowo-Hatta.

Menurut Dandhy sang sutradara, Dirty Vote akan menjadi tontonan yang reflektif di masa tenang pemilu. Diharapkan tiga hari yang krusial menuju hari pemilihan, film ini akan mengedukasi publik serta banyak ruang dan forum diskusi yang digelar.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres. Tapi hari ini, saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” ungkapnya.

Sosok tiga pakar hukum tata negara di Film Dirty Vote

1. Feri Amsari

Feri Amsari adalah pria kelahiran Padang, Sumatra Barat (Sumbar), pada 2 Oktober 1980.

Ia merupakan lulusan S1 dan S2 Hukum Universitas Andalas (Unand).

Tak hanya itu, ia juga merupakan lulusan William & Mary Law School, AS. Saat ini, Feri tercatat sebagai dosen FH Unand.

Feri Amsari pun menyinggung soal pro dan kontra pengesahan Undang-undang (UU) KPK hasil revisi. Feri Amsari dalam channel YouTube metrotvnews, Senin (23/12/2019). Feri Amsari menanggapi pernyataan Artidjo Alkostar soal KPK. (YouTube metrotvnews) (YouTube metrotvnews)

Dikutip dari situs resmi Unand, ia juga menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Unand.

Feri diketahui sudah bergabung dengan Pusako sejak Desember 2004.

Pesan yang disampaikan oleh Feri Amsari lewat film ini adalah esensi pemilu adalah rasa cinta Tanah Air.

Menurutnya, membiarkan kecurangan merusak pemilu sama saja merusak bangsa ini.

“Dan rezim yang kami ulas dalam film ini lupa bahwa kekuasaan itu ada batasnya. Tidak pernah ada kekuasaan yang abadi. Sebaik-baiknya kekuasaan adalah, meski masa berkuasa pendek, tapi bekerja demi rakyat. Seburuk-buruknya kekuasaan adalah yang hanya memikirkan diri dan keluarganya dengan memperpanjang kuasanya,” jelas Feri.

2. Bivitri Susanti

Bivitri Susanti lahir pada 5 Oktober 1974, yang berarti saat ini ia berusia 50 tahun.

Perempuan yang akarab disapa Bibip ini merupakan lulusan Sarjana Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 1999.

Setahun sebelum lulus dari UI, Bivitri bersama beberapa senior dan rekannya mendirikan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).

Dikutip dari situs Bung Hatta Award, Bivitri lantas melanjutkan studinya di University of Warwick di Inggris dan lulus pada 2002.

Dari Warwick, Bivitri menempuh pendidikan doktoral di University of Washington School of Law, AS.

Selama ini, Bivitri dikenal sebagai dosen, aktivis, dan juga pakar hukum tata negara.

Menurut Bivitri Susanti, film ini sebuah rekaman sejarah tentang rusaknya demokrasi negara ini pada suatu saat, di mana kekuasaan disalahgunakan secara begitu terbuka oleh orang-orang yang dipilih melalui demokrasi itu sendiri.

Bercerita tentang dua hal. Pertama, tentang demokrasi yang tak bisa dimaknai sebatas terlaksananya pemilu, tapi bagaimana pemilu berlangsung.

Bukan hanya hasil penghitungan suara, tetapi apakah keseluruhan proses pemilu dapat dilaksanakan dengan adil dan sesuai nilai-nilai konstitusi. Kedua, tentang kekuasaan yang disalahgunakan.

3. Zainal Arifin Mochtar

Zainal Arifin Mochtar yang merupakan lulusan Sarjana Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), lahir di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), pada 8 Desember 1978. Ia lulus dari UGM pada 2003, dikutip dari situs resmi UGM.

Setelahnya, ia melanjutkan program Magister di University of Northwestern, Chicago, AS, dan lulus pada 2006.

Enam tahun setelahnya, Zainal meraih gelar Doktor untuk Ilhum Hukum dari kampus almamaternya, UGM.

Seperti Bivitri Susanti, Zainal juga dikenal sebagai aktivis dan pakar hukum tata negara, selain menjadi dosen.

Zainal mengawali karier akademisinya pada 2014, di Fakultas Hukum UGM.

Saat ini, Zainal menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Tata Negara di FH UGM.

Ia juga menjabat Wakil Ketua Komite Pengawas Perpajakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk periode 2023-2026.

 

 

 

Komentar