Hak Angket Bukan Hanya Omon-omon, Dibutuhkan Kerja Politik Nyata dengan Prosesnya yang Rumit

Jakarta, B-Oneindonesia – Penggunaan hak angket di DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 tidak hanya sekedar omon-omon, juga butuh kerja politik nyata untuk bisa mewujudkannya.

Untuk bisa hak angket tidak hanya jadi wacana, proses menuju ke sana memang sedikit lebih rumit.

Jika ternyata diajukan angket dan tidak tercapai kuorum dalam paripurna atau tertolak dalam paripurna maka usul tersebut tidak dapat diajukan kembali, sehingga butuh kerja politik yang besar dan pertimbangan sikap politik ke depan akan berpengaruh.

Hak angket bisa diajukan terkait implementasi suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga berlawanan dengan peraturan perundang-undangan.

Pengajuan hak angket terkait kecurangan pemilu bisa diajukan jika pengusul bisa menunjukkan bahwa ada implementasi UU terkait pemilu yang berlawanan dengan peraturan perundang undangan dan ini menjadi persoalan strategis dan berdampak bagi masyarakat luas.

Bahwa itu tidak cukup hanya menunjukkan bukti atau temuan secara substansi, namun harus juga melewati proses politik di DPR sebagaimana yang diatur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.

Di antaranya diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi, dan usulan hak angket harus mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan keputusan disetujui lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.

Jika dilihat dari proses itu, inisiator hak angket tidak boleh hanya satu, misalnya, PDIP saja, harus didukung fraksi lainnya jumlah dan pengusul pendukung angket minimal 25 orang, sehingga butuh kerja politik bagi inisiator angket dan mobilisasi anggota DPR lebih dari separuh.

Koalisi pengusung Ganjar-Mahfud sebagai inisiator, lanjut dia, jika partai solid maka total jumlah anggota DPR yang bisa dihadirkan hanya 147 orang (128 orang dari PDIP dan 19 orang dari PPP) , maka membutuhkan juga dukungan koalisi Anies-Muhaimin yang jika solid total anggota yang bisa dihadirkan 167 orang ( NasDem 59 orang, PKB 58 orang, dan PKS 50 orang).

Jika ternyata diajukan angket dan tidak tercapai kuorum dalam paripurna atau tertolak dalam paripurna maka usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Para pihak penolak hak dan pasti kubu 02 akan berusaha membendung arus itu dengan berusaha mempengaruhi kubu koalisi 01 dan 03, sehingga jelas bahwa tawaran bangunan masa depan politik dan juga instrumen hukum pasti akan dimainkan.

Pertemuan Jokowi dengan Surya Paloh juga bisa jadi sinyalemen untuk membendung arus tersebut. Proses politiknya agak sedikit rumit dan sepertinya sulit terjadi pengajuan hak angket kecurangan Pemilu 2024.

Jimly: Wacana Hak Angket Cuma Gertakan, Kalau Tak Mau Ucapkan Selamat Jangan Manas-Manasin

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie buka suara menanggapi wacana hak angket yang digulirkan untuk menyelidiki dugaan kecurangan pemilihan presiden atau Pilpres 2024.

Menurut Jimly, wacana yang digulirkan calon presiden nomor urut 3, Ganjar Pranowo yang kemudian disambut baik oleh capres nomor urut 1, Anies Baswedan, hanyalah gertakan politik saja.

Menurut Jimly, hak angket tidak akan berpengaruh karena digulirkan dalam waktu yang terbatas yakni 8 bulan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024 mendatang.

“Hak angket itu kan, hak interpelasi, hak angket, penyelidikan, ya waktu kita 8 bulan ini sudah enggak sempat lagi, ini cuma gertak-gertak politik saja,” kata Jimly di kantor MUI, Jakarta, Rabu (21/2/2024).

Jimly mengatakan, ada banyak saluran yang dapat ditempuh apabila merasa ada kecurangan pada pelaksanaan pemilu, yakni melalui Bawaslu, DKPP, maupun mengajukan sengketa ke Mahkamah Konstitusi atau MK.

Lagi pula, kata dia, dugaan kecurangan pemilu tersebut tidak hanya menguntungkan satu kubu, tapi ketiga kandidat yang mengikuti kontestasi Pilpres 2024.

“Jadi jangan karena kemarahan lalu menggerakkan kebencian kolektif, lalu menggerakkan gerakan untuk pemakzulan atau apalah namanya itu,” ujar Jimly.

Jimly pun menyarankan kepada semua kandidat untuk tidak menimbulkan keriuhan baru.

Sebaliknya, lanjut Jimly, para kandidat agar memberi selamat kepada pasangan yang sudah unggul dalam hitung cepat sejumlah lembaga.

Sebab, hasil hitung cepat umumnya tidak berbeda dengan hasil perhitungan resmi yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Kalaupun enggak mau memberikan ucapan selamat, tunggu sesudah keputusan KPU (beri) ucapan selamat, tapi jangan manas-manasin, tunggu dulu sabar, jangan manas-manasin,” ucap anggota DPD itu.

Wacana menggulirkan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu pertama kali diangkat oleh kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Ganjar mendorong dua partai politik pengusungnya, PDI-P dan Partai Persatuan Pembangunan menggunakan hak angket karena menurutnya DPR tidak boleh diam dengan dugaan kecurangan yang menurutnya sudah telanjang.

“Dalam hal ini, DPR dapat memanggil pejabat negara yang mengetahui praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggung jawaban KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) selaku penyelenggara Pemilu,” kata Ganjar, Senin (19/2/2024).

Gayung bersambut, calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menyatakan partai politik pengusungnya juga siap untuk menggulirlan hak angket.

Tiga parpol pengusung Anies-Muhaimin adalah Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera.

“Kami ketemu dan membahas langkah-langkah dan kami solid karena itu saya sampaikan, ketika insiatif hak angket itu dilakukan maka tiga partai ini siap ikut,” ujarnya saat ditemui di Kantor THN Anies-Muhaimin Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa (20/2/2024).

Yusril Menyebut Dugaan Kecurangan Pilpres Tidak Bisa diselesaikan Melalui Hak Angket DPR

Yusril Ihza Mahendra berpendapat bahwa perselisihan hasil pemilu atau dugaan kecurangan di dalamnya tidak bisa diselesaikan lewat hak angket atau interpelasi di DPR. Perselisihan pemilu atau pilpres hanya bisa diselesaikan lewat jalur Mahkamah Konstitusi (MK).

“Menurut hemat saya hal itu tidak bisa diselesaikan melalui Hak Angket DPR. Karena UUD NKRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui MK,” kata Yusril, kepada media, Kamis (22 Februari 2024).

Pernyataan itu disampaikan Yusril, merespons usulan hak angket yang digulirkan capres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo lewat partainya, PDI Perjuangan.

Dijelaskannya, bahwa hak angket memang telah diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945. Ketentuan lebih detail mengenai hak angket diatur dalam Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3).

“Dalam aturan itu mengatur fungsi DPR melakukan pengawasan yang tidak spesifik, namun bersifat umum mengenai obyek pengawasan DPR,” lanjutnya.

Yusril berpandangan, penggunaan angket hanya membuat perselisihan hasil pemilu atau pilpres berlarut-larut. Apalagi, hasil angket juga hanya berbentuk rekomendasi, atau paling banter pernyataan pendapat DPR.

“Penggunaan hak angket DPR hanya berpotensi menyebabkan negara dalam ketidakpastian dan berujung pada chaos. Sebaliknya, penyelesaian lewat MK bisa membuat kepastian hukum,” pungkasnya.

Ditegaskan Yusril, bahwa pernyataan pendapat DPR tersebut juga harus diputuskan MK. Jika MK setuju, DPR harus menyampaikan permintaan pemakzulan kepada MPR, yang bisa menolak atau menerima.

Komentar