Gerindra Pertanyakan Isu HAM Prabowo Subianto Selalu Direproduksi Jelang Pilpres

Jakarta, b-OneindonesiaSekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menanggapi perihal adanya kampanye hitam yang mengaitkan isu Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Ketua Umum Partai Gerindra yang juga bakal calon presiden dari partainya Prabowo Subianto.

Partai Gerindra kata Muzani menilai isu HAM yang dikaitkan dengan Prabowo merupakan isu lama yang hanya diproduksi ulang setiap lima tahunan saat Pemilu.

“Ya itu kan, ham him hum hem hom muncul lima tahunan. Jadi kalau kita sudah tahu kapan isu itu akan muncul. Itu adalah isu lama yang selalu direproduksi menjelang Pilpres. Makanya itu kami tidak perlu mikirin,” ujar Muzani di Lapangan Blok S usai konsolidasi akbar Gerindra se-Jakarta Selatan, Minggu (23/7/2023).

Muzani menuturkan, Partai Gerindra tidak memikirkan perihal isu tersebut. Pasalnya kata Muzani, Gerindra saat ini fokus berjalan ke depan.

“Pokoknya kita jalan terus karena niat kita berbuat baik kepada bangsa dan negara. Kita tidak melihat kebelakang dan seluruh kader Gerindr bersemangat bersatu untuk itu,” lanjutnya.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menanggapi santai perihal tudingan-tudingan yang ditujukan kepadanya terkait peristiwa 1998 lantaran dicap pembunuh hingga penculik.

Ia pun menegaskan bahwa dirinya sudah sering menjelaskan mengenai isu tersebut di ruang publik. Prabowo menilai anggapan tersebut sah-sah saja. Sebab kata Prabowo, di demokrasi masyarakat bebas untuk memilih pemimpin.

“Selalu dibilang ini lah, itu lah, mau kudeta, ya kan? Dan sebagainya, penculik, pembunuh, jadi gimana ya? Saya mau apakan?” kata Prabowo di acara Mata Najwa, Kamis (29/6/2023).

“Bahwa ini kan demokrasi, kalau rakyat percaya semua tudingan-tudingan itu, ya rakyat nggak usah pilih saya, selesai kan?,” sambungnya.

Semakin Isu HAM Dipolitisasi, Semakin Timbulkan Antipati Publik

Juru Bicara Partai Gerindra Bidang HAM dan Konstitusi, Munafrizal Manan, menyoroti isu hak asasi manusia (HAM) yang kerap digunakan untuk menyerang bacapres Prabowo Subianto dalam kontestasi Pemilu. Ia menyebut marwah HAM terlalu mulia untuk sekadar dijadikan komoditas politik.

“Menggunakan isu HAM untuk tujuan kepentingan politik pemilihan presiden justru merendahkan marwah hak asasi manusia itu sendiri,” kata Munafrizal, Jumat (28/7/2023).

Menurut anggota Komnas HAM periode 2017-2022 ini, menuduh seseorang yang tak terbukti kebenarannya dalam suatu kasus justru mampu mencederai prinsip HAM. Penyerangan yang dikaitkan dengan isu tertentu hanya akan menimbulkan sikap antipati di publik.

“Menuduh seolah-olah seseorang sudah pasti bersalah padahal tidak ada putusan lembaga peradilan yang menyatakan seseorang telah bersalah secara sah dan meyakinkan adalah perbuatan yang justru mencederai prinsip HAM,” ujar Munafrizal.

“Semakin isu HAM dipolitisasi untuk kepentingan politik, semakin menimbulkan sikap antipati di kalangan publik luas. Semakin isu HAM diperdebatkan, ternyata semakin menjauh dari upaya menemukan penyelesaian final terbaik bersama yang berkeadilan untuk semua,” sambungnya.

Ia menyebut pelanggaran HAM berat pada kenyataannya harus berdasarkan fakta yuridis dan bukti yuridis yang kuat. Dia berpendapat tak mudah menuduh seseorang dengan asumsi pelanggaran HAM berat, tanpa proses pembuktian yang jelas.

“Itulah mengapa pendekatan yudisial yang telah pernah dilakukan dalam perkara Tanjung Priok, Timor-Timur, Abepura, dan Paniai justru berujung dengan putusan Pengadilan HAM yang membebaskan para terdakwa. Dan putusan pengadilan selalu menimbulkan perdebatan pro-kontra baru,” ujarnya.

Munafrizal menegaskan tak ada pernyataan hukum dan putusan yang menyatakan Ketum Gerindra Prabowo Subianto bersalah terkait HAM. Ia menuding hal itu hanya digunakan sebagian oknum untuk kepentingan politik sempit.

“Tidak ada kesimpulan hukum dan putusan hukum yang menyatakan Prabowo Subianto sudah bersalah menurut hukum. Buktinya Prabowo Subianto didukung rakyat sebanyak 62.576.444 suara (46,85 %) dalam Pilpres 2014 dan sebanyak 68.650.239 (44,50 %) suara dalam Pilpres 2019,” kata dia.

“Dengan pikiran jernih dan hati lapang kita harus menyadari bahwa ada kompleksitas realitas sejarah yang terjadi pada tahun 1997/1998. Kita harus menilai sejarah secara proporsional,” sambungnya.

Ia meminta semua pihak untuk menghentikan ujaran kebencian. Ia berharap Pemilu 2024 bisa berjalan dengan damai, aman, tanpa diwarnai dengan masalah yang menimbulkan perpecahan.

 

Komentar