Isu Materi Stunting Harus Jadi Bahasan pada Debat Capres 2024

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI Hasto Wardoyo (kiri) dalam diskusi bersama media di Jakarta, Jumat (22/9/2023).

Jakarta, b-Oneindonesia – Isu Stunting diusulkan jadi salah satu materi dalam debat capres-cawapres. Sebagai bangsa, Indonesia terbentuk karena peran mensejahterakan masyarakat. Usul tersebut disampaikan Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam diskusi media Kemarin, Jumat (22/09/23)

Seperti diketahui, KPU akan menggodok materi yang akan diangkat dalam debat capres. Sejumlah ahli dilibatkan dalam merumuskan materi debat itu. Jadi salah satu materi debat nanti yang akan disampaikan itu adalah tentang isu-isu stunting.

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI Hasto Wardoyo mengusulkan materi tentang stunting perlu dibahas dalam debat calon presiden menjelang kontestasi pemilihan umum pada 2024.

“Nanti pada debat-debat calon presiden atau pemilihan kepala daerah (pilkada) itu, saya akan usul harus ada materi tentang stunting,” ujarnya.

Dia menegaskan apabila ada calon kepala daerah-kepala daerah atau capres yang tidak memasukkan program penurunan stunting, maka capres atau calon kepala daerah tersebut tidak berkomitmen terhadap kesehatan dan gizi anak-anak Indonesia.

“Kita harus memastikan materi debat tentang stunting itu ada,” ujarnya.

Ia juga menyampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah mengirimkan dana sebesar Rp1,2 triliun​ ke seluruh daerah untuk percepatan penurunan stunting, sehingga butuh kerja cepat, kerja keras, dan komitmen dari seluruh kepala daerah untuk membuat program-program penurunan stunting.

“Daerah-daerah ini juga terus menggalakkan reformasi birokrasi, semua penjabat maupun kepala daerah, mereka takut angka stunting di daerahnya tinggi, karena pejabat ini takut tidak berprestasi, mengingat angka stunting di daerah sekarang jadi penilaian utama prestasi kerja pemerintah daerah,” katanya.

Ia memaparkan anggaran penurunan stunting yang dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yakni sebesar Rp 30,4 triliun pada 2023, dibagikan kepada kementerian/lembaga, program keluarga harapan (PKH) dari Kementerian Sosial, dan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga melalui program makanan tambahan (PMT).

“BKKBN kebagian 800 miliar untuk memberi penguatan kepada para Tim Pendamping Keluarga (TPK) yang terdiri dari bidan, kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan kader Keluarga Berencana (KB) sebanyak 600 ribu yang tersebar di seluruh Indonesia,” tuturnya.

Ia menyebutkan kepala daerah bisa memanfaatkan sumber dana dari empat komponen, yakni PKH, Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dikirim ke puskesmas, dana desa, serta gotong royong bunda asuh anak stunting, bapak asuh anak stunting, dan kakak asuh anak stunting yang berkolaborasi dengan perusahaan dan para pemangku kepentingan.

Pola Pikir Orang Tua Pengaruhi Angka Stunting

Hasto Wardoyo menyebut bahwa pola pikir orang tua bisa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya angka stunting.

“Pola pikir itu kalau bisa diubah, 70 persen bisa menurunkan stunting. Contoh, kalau orang tua sadar dan melek pentingnya jamban, maka dia menabung untuk memperbaikinya, air bersihnya dikontrol betul, daripada uangnya untuk membeli rokok, misalnya,” kata Hasto.

Ia menegaskan, apabila pola pikir orang tua sudah bagus, maka meskipun perekonomian keluarga terbatas, pasti bisa memprioritaskan kebutuhan-kebutuhan yang penting, misalnya kebutuhan protein hewani anak.

“Kalau orang tua yang punya pola pikir baik seperti itu, maka akan sadar juga pentingnya memperhatikan makanan anak, tidak hanya mie dan mie, tetapi telur dan ikannya dipenuhi, dia sadar betul pentingnya protein hewani,” ujar dia.

Ia menjelaskan, angka stunting di Indonesia sekarang masih tinggi, berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) masih di angka 21,6 persen, sedangkan saran dari Organisasi Kesehatan Dunia, standar prevalensi stunting harus di bawah 20 persen.

Sehingga, program-program yang melibatkan seluruh unsur masyarakat terkait percepatan penurunan stunting mesti digenjot agar berhasil mencapai target sesuai arahan Presiden, yakni 14 persen di tahun 2024.

“Stunting sekarang menjadi kepentingan semua pihak. Tidak ada kepala desa yang tidak khawatir dengan stunting, karena dana desanya sudah diarahkan untuk stunting. Puskesmas juga sibuk mencari cara untuk mengelola makanan lokal dan dibagikan pada keluarga berisiko stunting,” jelasnya.

Maka, untuk mengejar penurunan angka stunting tersebut, BKKBN bersama seluruh pemangku kepentingan telah mengarahkan berbagai program untuk mengatasi angka stunting dari hulu.

“Pola pikir kawin usia muda, terlalu tua, terlalu sering hamil, dan terlalu banyak (anak) ini sekarang sedang kita hapus, karena ini kan terkait pola pikir yang termasuk faktor jauh (penanganan sensitif atau tidak langsung). Kalau faktor jauhnya bagus, maka bisa dipastikan anaknya tidak akan stunting,” tuturnya.

Dokter spesialis kandungan lulusan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta ini mengisahkan, salah satu pasiennya yang sudah menempuh pendidikan S2 juga ada yang belum memahami pentingnya menjaga angka kelahiran.

“Saya bertemu pasien yang sudah S2, jadi anaknya yang pertama umur 1 tahun 3 bulan, tetapi dia sudah hamil lagi 6 bulan, terus saya tanya, ibu kan S2, apakah tidak sadar kalau ini jaraknya terlalu dekat? Jawabannya sederhana, kata dia, ini dokter, sekalian repotnya,” jelasnya.

Ia menegaskan, kasus ini adalah salah satu contoh bahwa pendidikan tinggi tidak menentukan bahwa pola pikir seseorang bisa bagus, dan dampaknya akan memunculkan angka stunting yang semakin tinggi.

“Anak yang jaraknya terlalu dekat, akan mengalami stres. Pertama, bayi yang di luar stres karena puting ibu disedot terus-menerus, tetapi ASI tidak produktif karena ibu mengandung, sehingga plasentanya menghasilkan hormon estrogen dan progesteron, yang bisa mengurangi produksi ASI,” tuturnya.

Untuk itu, ia menekankan kepada seluruh pemerintah daerah untuk melakukan edukasi yang masif melalui Tim Pendamping Keluarga (TPK), para kader, Generasi Berencana (Genre), tim Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan seluruh masyarakat hingga tingkat RT atau RW, untuk mengubah pola pikir masyarakat yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan program percepatan penurunan stunting.

 

Komentar