ANTARA EMAS & LOYANG SAAT PRABOWO BICARA STRATEGIS, KANDIDAT LAIN MENGAIS KEJELEKAN

Fadli Zon:  Wakil Ketua Dewan Pembina dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Jakarta, b-Oneindonesia – Jika Anda punya mulut besar, memang akan lebih mudah menarik perhatian. Itulah komentar saya atas debat calon presiden mengenai isu pertahanan, geopolitik dan hubungan internasional pada tanggal 7 Januari 2024 kemarin. Isu yang dibahas adalah masalah strategis, namun sayangnya dua calon presiden sepertinya lebih senang menggunakan panggung debat itu untuk menyerang kandidat lain ketimbang mengurai ide-idenya.

Debat pada dasarnya memang kontestasi wicara. Pentas omong-omong. Serangan dan saling sanggah adalah hal biasa dalam debat. Sayangnya, karena keasyikan menyerang Prabowo, dua kandidat lain sepertinya lupa bahwa serangan yang semula dianggap sebagai “serangan terhadap Prabowo”, sebenarnya telah menyentuh banyak aspek di luar itu. Saya bahkan bisa mengatakan, mereka sebenarnya potensial telah melecehkan institusi pertahanan dan TNI kita.

Ada beberapa poin yang saya catat bersifat tendensius melecehkan institusi pertahanan.

Pertama, ucapan-ucapan insinuatif seperti “alutsista-bekas”, atau “usang”, yang terus-menerus diulang, dengan maksud mendiskreditkan Prabowo, menurut saya adalah pelecehan dan blunder. Mereka berpikir hanya dengan ‘common sense’, tak mengerti soal politik dan industri pertahanan yang sebenarnya.

Perlu diketahui, produk alutsista itu tidak sama dengan produk otomotif yang dibuat atau dijual secara ‘ready stock’ dan massal. Bukan seperti beli barang di toko. Pembuatan alutsista itu paling cepat setidaknya butuh waktu sekitar 3 tahun. Itupun biasanya untuk kepentingan domestik lebih dulu. Sesudah masa tunggu produk, tahap berikutnya juga ada periode pelatihan dan sebagainya. Sehingga, jarak waktu antara kontrak pembelian hingga alutsista siap digunakan oleh negara pembeli butuh waktu cukup panjang. Kadang penggunaan operasionalnya baru bisa dilakukan 7 tahun setelahnya.

Hal lain, tak semua negara juga bisa secara sembarangan membeli alutsista. Amerika Serikat, misalnya, mereka punya prosedur politik cukup panjang untuk mengizinkan produk alutsistanya dibeli negara lain. Itupun kondisinya juga tak selalu terbaru. Untuk negara lain, mereka biasanya lebih suka memperjualbelikan alutsista yang sudah lebih dulu dipakai angkatan perangnya. Ini adalah praktik standar dalam politik pertahanan dan industri militer strategis.

Di luar soal itu, sebagai negara konsumen, dalam masa tenggang antara satu perangkat yang sudah hampir habis masa pakainya sampai ke kedatangan perangkat baru yang lebih mutakhir, ada yang disebut interim deterrent. Di periode itu kemampuan pertahanan kita tak boleh kosong. Di sinilah diperlukan juga alutsista-alutsista yang pernah dipakai. Tentu saja yang usia pakainya masih panjang.

Jadi, bahaya sekali jika kandidat calon presiden buta terhadap pengetahuan ini. Apalagi bersifat menghakimi lembaga militer dan pertahanan hanya bermodalkan ‘common sense’.

Selain melecehkan, ucapan semacam itu juga blunder. Saya sulit membayangkan, misalnya, keluarga besar TNI akan bersimpati terhadap calon presiden yang menghakimi serta merendahkan institusi pertahanan semacam itu.

Kedua, Anies Baswedan menyebut anggaran alutsista Rp700 triliun dan hanya digunakan untuk membeli alutsista bekas. Ini juga konyol dan hanya menunjukkan kedangkalan pengetahuan yang bersangkutan. Pernyataan ini bahkan telah diralat dan dibantah sendiri oleh tim kampanyenya.

Saya setuju dengan Prabowo bahwa ucapan semacam itu bersifat menghasut publik, seolah anggaran Kementerian Pertahanan sangat besar tapi tak dikelola dengan baik. Sebab, orang akan menganggap angka Rp700 triliun itu adalah anggaran per tahun dan hanya untuk alutsista. Tujuh ratus triliun itu artinya sekitar 21 persen APBN. Ini kan ngawur. Pernyataan Anies soal anggaran ini bisa menyesatkan publik.

Angka yang dimaksud sebenarnya adalah anggaran akumulatif Kementerian Pertahanan selama lima tahun, yaitu periode 2020-2024. Itupun jumlahnya tak sampai Rp700 triliun, melainkan Rp692,9 triliun.

Artinya, tiap tahun rata-rata anggaran Kemenhan adalah Rp138 triliun saja, atau hanya sekitar 0,7 persen PDB. Porsi itu sebenarnya masih jauh dari standar ideal anggaran pertahanan sebesar 1-2 persen PDB. Karena anggaran Kemenhan tiap tahun hanya sebesar itu, anggaran alutsista tentu saja porsinya jauh lebih kecil lagi. Tahun 2024, dari Rp135,45 triliun anggaran Kemenhan, alokasi anggaran untuk modernisasi alutsista adalah Rp39,4 triliun.

Terkait modernisasi alutsista sendiri, sejak tahun 2019 hingga sekarang, sebagian besar pembelian alutsista oleh Kemenhan sebenarnya merupakan alutsista baru, seperti pembelian pesawat tempur Rafale, frigate Merah Putih, rantis Maung, hingga radar GM400A, semuanya adalah pembelian alutsista dalam kondisi baru. Selain itu Kemenhan fokus untuk merevitalisasi industri pertahanan domestik.

Ketiga, terkait sejumlah indeks yang disampaikan salah satu capres, seolah kinerja Menteri Pertahanan adalah buruk. Ada tiga indeks yang diajukan Ganjar Pranowo, yaitu Global Peace Index (GPI) yang disusun Institute for Economics and Peace (IEP); lalu Global Militarisation Indeks (GMI) yang disusun BICC (Bonn International Centre for Conflict Studies); dan Asia Power Index (API) oleh Lowy Institute. Menurut saya, penggunaan tiga indeks tadi untuk mengukur kinerja Kementerian Pertahanan sebenarnya bersifat salah kaprah.

Kenapa begitu?

GPI yang disebut Ganjar, misalnya, lebih tepat kalau digunakan untuk mengukur kinerja Menko Polhukam Mahfud Md ketimbang kinerja Prabowo sebagai Menhan. Sebab indeks ini parameternya adalah soal keamanan dan konflik domestik, yang bukan merupakan domain Kementerian Pertahanan. Justru Menko Polhukam yang terkait isu keamanan sekaligus pertahanan.

Indeks lain yang disebut Ganjar juga sangat ‘tricky’ interpretasinya. Ganjar menyebut skor GMI kita turun dan mengeksploitasi hal ini. Memang benar skor GMI kita turun, tetapi peringkat kita secara global justru naik, dari sebelumnya peringkat 130 (2021) menjadi peringkat 124 (2022 dan 2023).

Sebagai informasi, Global Militarisation Index (GMI) mengukur proporsi sumber daya yang dialokasikan oleh suatu negara untuk sektor pertahanannya. Artinya, semakin tinggi belanja militer, maka semakin tinggi pula peringkatnya. Faktanya, alokasi anggaran untuk sektor pertahanan memang naik turun tergantung keadaan, namun secara keseluruhan anggaran pertahanan dan belanja modernisasi alutsista cenderung naik terus.

Terakhir, Ganjar juga menyebut skor Asia Power Index kita turun. Jika kita baca laporan yang disusun Lowy Institute, skor kita memang turun, namun secara peringkat kita justru naik. Pada 2018, secara umum kita berada di peringkat 11 dengan skor 19,8. Nah, pada 2023, meski skornya turun jadi 19,4, namun peringkat kita naik jadi 9.

Selain itu, masih menurut Lowy Institute, pengaruh diplomatik Indonesia justru naik signifikan. Ini juga sekaligus membantah apa yang disampaikan Anies, seolah Indonesia tak punya peran apa-apa di panggung politik dunia.

Sekali lagi, anggaran pertahanan memang bisa naik turun. Seperti, misalnya, pada masa pandemi Covid-19 kemarin, anggaran publik kita tentu lebih banyak dialokasikan untuk belanja kesehatan. Namun, sebagaimana dicatat oleh International Institute for Strategic Studies (IISS), yang secara berkala merilis laporan The Military Balance, meskipun porsi anggaran pertahanan Indonesia turun, tetapi rencana pertahanan kita saat ini adalah yang paling ekspansif di kawasan.

Jadi, kalau Ganjar benar-benar membaca laporan tadi, dan bukan sekadar mengutip untuk tampil seolah-olah mengerti soal pertahanan di panggung, mestinya data-data tadi tak akan digunakannya untuk menjatuhkan kinerja Kemenhan. Karena detailnya justru berkebalikan dengan ‘framing’ yang dibuat Ganjar.

Keempat, lontaran Anies yang mengkritik tidak dilibatkannya ASEAN dalam merespon gangguan RRC di Laut Cina Selatan, menunjukkan kalau dia tidak memahami organisasi ASEAN, dan sekadar berusaha melontarkan kata-kata keren saja. Saya 5 kali jadi Ketua Delegasi RI dalam Sidang Umum AIPA, organisasi parlemennya ASEAN, di mana Indonesia pernah mendorong terbitnya beberapa kali resolusi kemanusiaan atas krisis Rohingya yang terjadi di Provinsi Rakhine, Myanmar.

Untuk sekadar membuat pernyataan dan mendesak Myanmar saja ASEAN tak bisa, apalagi melakukan intervensi kemanusiaan. ASEAN dibelenggu oleh sistem konsensus dan prinsip non-interference yang ada di dalam statutanya.

Jadi, lontaran Anies mengenai pelibatan ASEAN itu menurut saya seperti lontaran anak sekolah menengah. Kelihatan keren, tapi tak punya basis pemahaman atas persoalan yang kuat.

Dan kelima, soal tanah HGU yang dimiliki Prabowo. Itu adalah tanah HGU perusahaan, bukan pribadi atau perorangan. Bahaya sekali seorang calon presiden mempersoalkan HGU sebuah perusahaan yang didapat melalui proses legal dan tidak melanggar undang-undang. Jika Anies membahas isu tanah itu sebagai isu mengenai ketimpangan, secara akademis mungkin masih bisa diterima. Tapi memframingnya seolah itu adalah sebentuk kejahatan, bahkan menyakiti para prajurit kita, pernyataan itu adalah insinuasi yang jahat sekali. Apalagi, penguasaan itu dulu ada konteks dan latar belakangnya.

Kalau Anies mau mencari tahu dan menggali informasi, ia bisa bertanya langsung kepada orang dalamnya sendiri, Pak Jusuf Kalla. Sebab, dulu tanah HGU perusahaan Pak Prabowo diperoleh melalui Pak JK. Tolong tanya, apakah HGU yang didapat perusahaan Prabowo itu dilakukan dengan melanggar hukum dan etika?

Sejak masih aktif menjadi prajurit, lalu menjadi perwira tinggi, Prabowo adalah orang yang sangat mempedulikan nasib para prajurit TNI. Dia bahkan tak segan mengeluarkan uang pribadi untuk memenuhi kebutuhan anak buahnya, mulai dari soal perumahan, pendidikan anak-anaknya, bahkan hingga menyekolahkan para perwira ke luar negeri. Saat anggaran negara tidak mencukupi, dulu dia tak segan mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri untuk para prajurit.

Jadi, jangan karena ambisi pada kekuasaan, Anies menghalalkan segala cara, sampai mem-framing Prabowo sebagai sosok yang seolah telah menjahati prajurit TNI karena perusahaannya mengelola tanah HGU. Itu pernyataan menghasut namanya.

Debat Pilpres bukanlah lomba debat sekolahan, seharusnya bicara substansi persoalan strategis. Prabowo sudah tepat, dalam diplomasi pertahanan, diplomasi luar negeri dan pengaruh kita dalam peta geopolitik, sangat tergantung pada kekuatan kita secara domestik, secara ekonomi dan kekuatan militer secara keseluruhan.

Menyaksikan debat capres mengenai isu pertahanan kemarin, saya jadi teringat kata-kata Lao Tse, “Dia yang tahu tidak berbicara, sementara dia yang berbicara tidak tahu.” Kata orang bijak, emas tak perlu lagi mempromosikan dirinya. Dan sepandai-pandainya loyang mengilapkan diri, ia tak akan jadi emas.

Teheran, 10 Januari 2024

Komentar